Jendela

Haji Rendah Hati

Ibadah haji bukanlah akhir dari kehidupan ataupun amal, tapi lebih lagi penilaian kembali dari suatu keyakinan yang dianut

Editor: Hari Widodo
istimewa
Prof DR H Mujiburrahman MA 

Oleh : Mujiburrahman

BANJARMASINPOST.CO.ID - SEKITAR dua tahun lalu, saya mendapatkan kiriman hadiah buku dari Pusat Kebudayaan Perancis berjudul Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964. Buku yang terdiri dari tiga jilid ini disusun oleh sarjana Perancis Henri Chambert-Loir.

Ia mengumpulkan dan memberikan pengantar terhadap banyak catatan perjalanan haji yang dibuat oleh orang-orang Nusantara. Ketika memasuki musim haji tahun ini, saya terpanggil untuk membaca kembali buku ini.

Di antara banyak catatan perjalanan itu, saya terpesona membaca catatan Rosihan Anwar (1922-2011), wartawan yang naik haji pada 1957; Asrul Sani (1927-2004), sastrawan dan sutradara film yang naik haji pada 1963; dan Misbach Yusa Biran (1933-2012), seorang penulis skenario dan sutradara film yang naik haji pada 1964.

Melalui tulisan mereka, kita bisa mendapatkan gambaran tentang kondisi tanah suci saat mereka berhaji, dan kesan-kesan pribadi yang mereka rasakan. Saya terpukau dengan gambaran mereka yang apa adanya, blak-blakan sekaligus rendah hati.

Semua tokoh ini mengalami gejolak batin yang hebat, terutama saat memulai ibadah. Rosihan Anwar menulis: “…ketika tadinya saya sembahyang sunnat dua rakaat, maka hal itu adalah yang pertama kali saya lakukan sejak 14 tahun lalu.  Selama masa itu saya tiada bersembahyang, tiada berpuasa, tahu-tahu sudah dalam perjalanan naik haji. Apakah ini yang sedang terjadi dengan diri saya?” Asrul Sani bahkan berat kaki hendak berangkat dari Jeddah ke Mekkah karena merasa belum siap. Ia mengaku mengalami keterbelahan. Saat kecil belajar agama dengan hafalan. Setelah remaja ia menisbikan segalanya hingga dituduh ateis. Ia merasa belum siap berhaji.

Misbach Yusa Biran membuat catatan serupa tapi berbeda. Ia berangkat naik kapal Ambulombo yang sudah tua. Perjalanan Jakarta ke Jeddah ditempuh selama dua minggu. Ia khawatir, kapal tua itu akan hancur diterjang ombak dan tenggelam. Misi utamanya ke Mekkah memang bukan berhaji, tetapi membuat film tentang haji. Di kapal, orang-orang banyak bicara soal agama, tetapi orang-orang film tidak.

“Persiapan ketakwaan kami memang masih amat kurang. Masa itu orang film yang taat salat lima waktu masih amat kurang. Saya salah satu dari yang sedikit itu, tapi pengetahuan agama serta derajat ketakwaan saya masih rendah. Pemahaman kami mengenai berhaji praktis nihil.”

Di sisi lain, bagi Rosihan, Kota Mekkah tidak menarik, kotor dengan bau yang membuat mual. “Di kampung tempat saya tinggal yaitu Syamilah tampak jalan-jalan sempit serba melandai, sinar matahari tak pernah jatuh di tanah, gedung-gedung serba kumuh lusuh dan manusia hidup berdesak-desakan. Penduduk berdiam tumpang tindih, rumah-rumah serba tua dan kumal, jalan-jalan sempit dan jorok, bau khas menyiksa hidung, semua itu membuat perasaan orang gampang tertekan. Terutama hal itu lekas dirasakan di lingkungan Masjidil Haram. Bagaimanakah orang bisa beribadat tekun dengan jasmani yang bersih, jika lingkungan sekelilingnya tidak ikut membantu?” tulisnya.

Misbach yang pergi haji sekitar 7 tahun setelah Rosihan Anwar ternyata masih punya kesan serupa. “Saya kecewa berat ketika bus memasuki Kota Mekkah. Saat itu yang saya lihat adalah kota yang padat dengan gedung. Banyak orang lalu lalang. Sungguh sangat tidak sesuai dengan bayangan saya tentang sebuah kota suci.

Sepanjang jalan saya banyak cingcong melihat keadaan serba semrawut, kotor dan sebagainya. Ini salah, itu salah.” Di bagian lain dia menulis, “Perawatan kota sangat buruk. Sampah menumpuk di mana-mana. Lalat bukan main banyak. Dekat wilayah pasar, tumpukan sampah lebih menjijikkan. Di sana-sini genangan air, berbau busuk dan dikerumuni banyak lalat.”

Namun, Rosihan dan Misbach juga melontarkan humor, menertawakan keadaan. Saat Rosihan duduk di depan penginapan, ia seringkali didatangi pengemis. Jumlah pengemis itu banyak. Bagaimana menolak mereka? Rosihan mendengar orang Arab bilang pada pengemis itu, ‘Allah de’.

Ia tafsirkan, mirip dengan orang Jakarta bilang ‘Udah deh’. Misbach punya cerita lain. Saat itu kawasan Masjidil Haram tengah dibangun, dan ada galian di dekat masjid yang debunya tersebar. Di situ banyak orang berdagang. Misbach mau membeli tasbih. Ia minta yang bersih, tak kena debu. Kata si penjual, lebih baik yang berdebu, karena itu adalah debu Kota Mekkah. Misbach terpengaruh dan membeli!

Misbach juga mencatat pengalaman ruhani. Seorang dokter petugas haji, semula tak berniat melaksanakan haji. Dia hanya mau membeli blok mesin mobil Fiat di Jeddah. Dokter ini juga memarahi seorang jemaah tua yang sakit-sakitan, yang menurut dokter bisa mati. Isteri pak tua itu bilang, suaminya memang ingin mati di tanah suci. Dokter itu heran. Kok ada orang mau cari mati? Ternyata, kelak dokter itu ikut berhaji dan menjadi Muslim yang taat.

Adapun pak tua, dia pulang dengan selamat, sementara beberapa anak muda malah mati. Misbach juga ikut-ikutan memanggil orangtuanya dari Bukit Qubais. Ia memanggil ayahnya, tetapi yang terbayang malah ibunya. Ternyata kelak memang ibunya yang berhasil naik haji, sementara ayahnya keburu meninggal.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved