Jendela
Haji Rendah Hati
Ibadah haji bukanlah akhir dari kehidupan ataupun amal, tapi lebih lagi penilaian kembali dari suatu keyakinan yang dianut
Rosihan punya pengalaman lain lagi. Ia kepanasan di tempat penginapan, dan tidak bisa tidur. Kamarnya kecil, diisi 10 orang jemaah, “laki perempuan campur aduk.” Banyak jemaah yang sakit. Rosihan pun sakit. Ia datang ke klinik. Dokter yang melayani menyarankan agar dia tidur di ruang klinik yang ber-AC.
Saat itu belum umum di Mekkah gedung-gedung memakai AC. Di sebelahnya ada pasien terbaring juga. Rosihan tertidur. Ternyata orang yang disampingnya itu meninggal.
“Malaikat Izrail, malaikat yang bertugas mengambil nyawa makhluk Allah pada menjelang subuh itu pasti berada di jarak satu meter saja dari tempat saya. Gemetar juga saya sebentar pagi itu,” tulisnya.
Setelah pulang, Rosihan Anwar dan Misbach Yusa Biran memutuskan untuk menggunakan titel ‘Haji’ di depan nama mereka. Alasannya adalah agar mereka menjaga diri dari melanggar norma-norma agama. Tak jelas apakah Asrul Sani juga menggunakan titel Haji, tetapi makna haji baginya juga sejalan dengan pemikiran dua tokoh itu. Ia menulis,
“Ibadah haji bukanlah akhir dari kehidupan ataupun amal, tapi lebih lagi penilaian kembali dari suatu keyakinan yang dianut dan cara-cara menganut keyakinan tersebut, untuk dapat mulai lagi dengan cara yang lebih benar.”
Setelah membaca kisah-kisah mereka di atas, kita bersyukur bahwa keadaan di tanah suci saat ini jauh lebih nyaman, lebih bersih dan lebih mewah. Namun, apakah kita memiliki kerendahan hati saat dan setelah berhaji seperti mereka? Apakah kita mendapatkan pengalaman rohani seperti mereka? (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.