Tajuk
Mempermudah Ujian SIM
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ini juga menyorot mengenai ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) terutama tes angka 8
BANJARMASINPOST.CO.ID -SETIAP calon pengemudi kendaraan bermotor di Indonesia harus melalui ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk mendapatkan izin mengemudi resmi. Ujian SIM dilakukan melalui beberapa tahap. Mulai dari pendaftaran, tes teori, dan juga tes praktik lapangan.
Belakangan ini tes praktik lapangan di Indonesia dianggap terlampau sulit dan sering dibanding-bandingkan dengan ujian serupa di luar Indonesia.
Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun turut menyorot ujian SIM, terutama tes angka 8 dan zigzag yang dianggap tak relevan dan seolah mereka yang lulus akan bermain sirkus. Korlantas Polri pun berencana segera mengaji ulang isi dari tes pembuatan SIM, baik ujian teori atau praktik.
Kapolri meminta agar ujian SIM dapat mempermudah masyarakat untuk lulus. Meski demikian niatan tersebut tentu tidak lari dari aspek keselamatan, sehingga masyarakat tetap perlu memiliki kompetensi pengetahuan dan kemampuan mengemudi.
Kembali ke konteks awal, mengenai relevansi. Sebenarnya apa relevansi seorang calon menerima SIM bisa melewati angka 8 dengan cara berkendara di jalan raya?
Bila seorang Kapolri pun mempertanyakan, artinya memang tidak ada relevansi secara langsung.
Warga banyak membanding bandingkan ujian SIM ala Indonesia dengan di luar negeri seperti Jepang dan Singapura, yang bisa menciptakan lalu lintas tertib.
Padahal bila dilihat lebih seksama ini tidak semata pada proses pembuatan, tapi problem hulu-hilir. SIM bukan semata mengenai kompetensi si pengendara, namun juga penegakkan hukum oleh petugas.
Sudah bukan rahasia bila pengendara lebih tertib saat melewati lokasi yang diawasi tilang eletronik, atau petugas yang berjaga. Jadi katakan dia lolos angka 8, tapi tetap tidak tertib saat tidak ada pengawasan.
Problem juga terkait pada tingkat kesulitan pembuatan SIM. Karena hanya sebagian kecil pengendara yang lolos angka 8, lalu sebagian yang lain memilih ‘jalur belakang’. Ujung-ujungnya kompetensi yang diharapkan oleh petugas tak tervapai dan justru menciptakan KKN gaya baru. Selain itu yang sebenarnya terkait penegakkan hukum, di negeri ini juga tidak ada penegasan terkait status SIM. Padahal pencabutan SIM sebagaimana Peraturan Kapolri merupakan efek jera bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat atau akumulasi tilang.
Bila Kapolri sudah berpesan untuk mempermudah, rumusan harus dibuat sedetail mungkin agar faktor mudah tadi tidak serta merta membuat semua orang bisa mendapatkan SIM tanpa kompetensi dan kemampuan berkendara.
Tak ketinggalan dengan banyaknya kasus pengemudi yang mengamuk di jalanan, tes psikologi yang benar-benar menelisik sisi psikologis juga harus dilakukan, bukan sekadar formalitas isian formulir. Supaya tidak ada pengedara sein kanan belok kiri, atau tukang melawan arus yang lebih galak saat diperingatkan. (*)
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Banjarmasin Post
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.