Opini

Sepinya Pasar dan Hilangnya para Pembeli

Beberapa waktu belakang, para pedagang pasar mulai menjerit, pasar yang dulu ramai oleh pembeli kini terlihat sepi.

Editor: Edi Nugroho
Dokumentasi Banjarmasinpost.co.id
Ferry Irawan Kartasasmita, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan 

Oleh: Ferry Irawan Kartasasmita
Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan

BEBERAPA waktu belakang, para pedagang pasar mulai menjerit, pasar yang dulu ramai oleh pembeli kini terlihat sepi. Omzet menurun drastis, para pramuniaga jemput bola menawarkan dagangan hingga ke selasar toko, tetapi calon pembeli sudah jarang terlihat. Kemana perginya mereka? Hilangkah sudah keramaian pasar?

Perubahan pola berbelanja masyarakat mulai terlihat ketika menjamurnya e-commerce di Indonesia. Ditambah lagi pandemi covid-19 yang memaksa kita semua untuk tidak keluar rumah. Pandemi menjadi katalis masyarakat untuk terbiasa berbelanja melalui media online.

Setelah pandemi berlalu, shifting, peralihan pola konsumsi terbentuk, masyarakat lebih senang berbelanja online ketimbang bermacet-macet dan mengeluarkan usaha untuk mengunjungi toko offline.

Hal ini ditambah dengan masuknya aplikasi tiktok yang memanjakan konsumen, karena ada marketing secara audio visual, sehingga kita tak perlu lagi melihat suatu barang di toko secara langsung.

Baca juga: Terdakwa Kasus BOK Kembalikan Uang Kerugian Negara, Jaksa Sebut Bisa Peringan Ancaman Hukuman

Baca juga: Perang Karhutla

Cukup melihat deskripsi yang disampaikan para konten kreator di tiktok. Bagi yang ingin membeli alat elektronik, telah disampaikan secara detail spesifikasinya. Telah disampaikan pula cara penggunaannya, dari mulai membuka kotak kemasan sampai produk dapat digunakan.

Video tiktok kini menggantikan peran pramuniaga dalam mempromosikan dan menginformasikan produk yang dijual. Disrupsi terjadi, peran itu tergantikan.

Tak perlu mencoba pakaian di fitting room, cukup melihat konten kreator memakai baju tersebut, lalu pertanyaan calon konsumen saat live akan dijawab langsung, berapa ukuran yang pas untuk berat badan sekian, untuk lebar dada sekian, untuk tinggi sekian. Semua dapat terjawab.

Rantai distribusi terpangkas jauh, kini dari produsen dapat langsung berkomuniksasi dan menjualnya kepada konsumen. Melalui internet siapa saja dapat bertemu.

Tak perlu lagi melalui perantara distributor, penjual kedua, hingga ketiga. Lantas sepinya pasar Tanah Abang di Jakarta dan pasar-pasar konvensional di Banjarmasin bukan sesuatu yang asing, bahkan di pasar-pasar kabupaten pun telah lebih dulu mengalami hal ini.

Baca juga: Akses Tepat Jual Barang Seken ke Jutaan Pembeli di TribunJualBeli, Metode Pembayaran dan Delivery

Pembeli sudah enggan untuk mengujungi pasar untuk berbelanja. Masyarakat sekarang memang masih suka pergi ke mal atau pusat perbelanjaan, tetapi umumnya mereka tidak lagi membeli baju atau elektronik, tapi sekadar hangout, ngopi, atau window shopping untuk nantinya mereka checkout barang tersebut di e-commerce karena selisih harga yang lumayan.

Suka atau tidak, itulah yang terjadi. Zaman telah berubah dan kitalah yang harus beradaptasi.

Pertanyaan berlanjut, betapa pilunya nasib pedagang di pasar, mereka harus membayar sewa toko, menggaji pramuniaga, biaya listrik, kebersihan, gudang dan hal-hal lainnya.

Kehadiran teknologi apalagi ditambah dengan kecerdasan buatan yang menciptakan algoritma yang mampu menarik minat pembeli, jauh lebih andal dari para top sales produk manapun.

Tidak hanya itu, banyak faktor yang memengaruhi lesunya pasar dari pembeli seperti lesunya daya beli masyarakat, karena meningkatnya biaya hidup, dampak tak menentunya perekonomian global dan melambungnya harga pangan dunia karena dampak el nino.

Terjadi pula kenaikan impor pakaian jadi hingga banyak produsen saat ini yang langsung menjual ke pelanggan memlaui media online seperti e-commerce dan media sosial mereka.

Ditambah lagi tren anak muda saat ini yang membeli pakaian bekas impor (thrifting), karena rata-rata pakaian bekas impor masih sangat layak pakai dan terkadang berasal dari brand fashion ternama dunia.

Mengambil Momentum

Menjawab perkembangan zaman saat ini, tentunya kita tidak dapat berdiam diri. Penulis teringat salah satu kalimat dari Deepak Chopra, penulis dari India, “Semua perubahan besar diawali dengan kekacauan.”

Perubahan besar sepertinya akan kembali terjadi, sebelumnya disrupsi besar terjadi di dunia transportasi. Dimana para ojek pangkalan marah besar ketika kehadiran ojek online berbasis aplikasi hadir di negeri ini. Pengemudi taksi konvensional pun protes keras, rejeki mereka tergerus.

Tapi kini, mereka menyesuaikan, manusia memang makhluk yang paling hebat dalam beradaptasi. Banyak para ojek pangkalan beralih ke online, mengikuti kemajuan teknologi, memudahkan mereka untuk mendapatkan pelanggan.

Beberapa tahun yang lalu juga para pengusaha bioskop dibuat heran, bagaimana bisa sensasi menonton film di bioskop dapat tergantikan dengan menonton di TV atau bahkan smartphone. Aplikasi menonton streaming film bermunculan ada Netflix, Iflix, Disney+ Hotstar, Vidio, HBO dan masih banyak lagi.

Kita cukup membayar biaya berlangganan setiap bulan, untuk bisa mengakses ribuan film yang diinginkan. Disrupsi terjadi dan bioskop sampai saat ini masih bertahan.

Untuk itulah, tak perlu kiranya kita terpuruk dan mengutuk terhadap perubahan, perlu kiranya kita untuk menyesuaikan diri. Jika selama ini pedagang hanya menunggu calon pembeli di toko, baik kiranya mengikuti langkah lain dengan menjual produk dagangan melalui media online, memasukannya dalam katalog e-commerce ataupun mengikuti live tiktok seperti konten kreator yang lain.

Walaupun diawal akan sepi, tetapi nantinya kita akan mendapatkan formula terbaik untuk memasarkan produk.

Pemerintah pun perlu untuk menghidupkan pasar konvensional dengan berbagai kemudahan, promosi dan menampilkan unsur lokalitas yang berkarakter seperti memusatkan kuliner tradisonal dan produk-produk UMKM unggulan yang memiliki unsur seni dan tampilan berbeda dari produk industri.

Untuk pasar konvensional, perlu adanya langkah untuk mengintegrasikan pasar dengan rute transportasi umum, agar mayarakat lebih dimudahkan untuk menunjungi, tak perlu repot membawa kendaraan pribadi dan mencari parkir yang selama ini menjadi permasalahan ketika pergi ke pasar.

Banyak hal yang mungkin dapat kita lakukan untuk beradaptasi dari perubahan pola konsumsi masyarakat. Ini bukan kiamat untuk pasar konvensional, karena seiring waktu, kita akan menemukan solusi terbaiknya sendiri. (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Desentralisasi MBG

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved