Berita HST

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tolak Rencana Perdagangan Karbon di HST

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Hulu Sungai Tengah tegas menolak rencana perdagangan karbon di HST

Penulis: Stanislaus Sene | Editor: Irfani Rahman
(Banjarmasinpost.co.id/Stanislaus sene)
Ketua AMAN HST, Syahliwan saat menyampaikan penolakan terhadap rencana perdagangan Karbon di HST 

BANJARMASINPOST.CO.ID,BARABAI - Rencana perdagangan karbon di Kabupaten Hulu Sungai Tengah mendapat penolakan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Hal ini diungkapkan Ketua AMAN HST, Syahliwan kepada sejumlah awak media, Senin, (04/12/2023). 

Syahliwan mengatakan alasan dengan tegas menolak perdagangan karbon di HST karena masyarakat adat setempat sampai hari ini masih belum diakui.

“Selama belum ada pengakuan atau legalitas kepada masyarakat adat yang ada di HST, kami jelas menolak," jelasnya.

Ia mengatakan bahwa wilayah yang potensi menjadi lokasi perdagangan karbon di HST itu berada di kawasan Pegunungan Meratus dan banyak dihuni masyarakat adat

"Usulan pengakuan untuk masyarakat adat sudah lebih dari satu dekade dan itu juga tak kunjung di sahkan atau pun dibahas," jelasnya.

Baca juga: Info Cuaca Banjarmasin & Kota di Kalimantan Senin 4 Desember 2023, Waspada Pontianak, Cek Samarinda

Baca juga: Lowongan Kerja Bank BNI, Untuk Lulusan SMA hingga S2, Berikut Posisi Dicari dan Cara Daftarnya

Ia mengatakan sejak 2012 lalu, perda terkait pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di HST sudah diusulkan namun sampai hari ini masih nihil.

"Kita justru lebih mendukung terhadap pemberdayaan potensi ekonomi lokal di wilayah-wilayah adat seperti di sektor pangan, pariwisata, budidaya anggrek, penangkaran hewan, dan lain sebagainya," jelasnya.

Ia pun mengakui namun sebelum sampai ke sana, yang paling penting dikerjakan dulu adalah terkait infrastruktur. Sia-sia bicara potensi, sementara infrastruktur belum terbangun dengan baik.

"Kondisi saat ini, akses masyarakat masih terbatas, bahkan masih banyak wilayah adat yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki," lanjutnya.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan (Kalsel), Kisworo Dwi Cahyono mengatakan bahwa keberadaan masyarakat adat perlu diakui dulu karena jika dipaksakan akan sangat rawan.

"Bisa-bisa masyarakat adat hanya jadi penonton," katanya.

Kisworo mengatakan bagi Walhi, perdagangan karbon merupakan jalan sesat untuk mengatasi krisis iklim. Sebab perdagangan karbon hanyalah sebuah modus untuk tetap mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing.

"Sejak dulu Walhi tentunya menolak ekstraktivisme yang telah terbukti menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia," tegasnya.

(Banjarmasinpost.co.id/Stanislaus sene).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved