Opini

Memastikan Dana Halal Kampanye

Sistem pemilihan secara langsung telah membuka keran seluas-luasnya bagi siapa saja untuk merebut pengaruh publik.

Editor: Edi Nugroho
(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Syaiful Riki)
Ilustrasi alat peraga kampanye Pemilu 2024 di Kalimantan Selatan (Kalsel) 

Oleh: Aminuddin

Pemerhati Politik, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sistem pemilihan secara langsung telah membuka keran seluas-luasnya bagi siapa saja untuk merebut pengaruh publik.

Perebutan pengaruh tersebut tidak hanya ditandai dengan kuatnya jejaring politik, sumber daya sosial, dan juga popularitas di aras lokal, namun juga sumber dana kampanye yang dimiliki setiap kandidat.

Sumber daya yang dimaksud disini mencakup ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh kandidat untuk merebut atensi publik.

Bersamaan dengan itulah, ongkos politik seperti dana kampanye yang dikeluarkan oleh kandidat terus menjadi perhatian serius dalam setiap kontestasi pemilu maupun pileg.

Baca juga: Menghargai Pejalan Kaki

Baca juga: Duka Keluarga Sopir Korban Tewas Tabrakan di Jalan A Yami Km 29 Banjarbaru, Tinggalkan 2 Buah Hati

Baru-baru ini, pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) mengendus adanya transaksi mencurigakan bendahara partai politik.

Uang gelap tersebut disinyalir mencapai setengah triliun. Indikasi transaksi mencurigakan itu muncul karena aktivitas di rekening khusus dana kampanye (RKDK) saat ini cenderung tidak bergerak.

Padahal, dengan adanya kampanye, otomatis terjadi peningkatan aktivitas yang tersimpan di RKDK untuk membiayai kampanye. Pergerakan uang diduga justru terjadi pada rekening lain.

Munculnya dugaan dana gelap kampanye pemilu mengonfirmasi bahwa problem politik sangat kompleks.


Struktur partai yang ada hingga ke ranting, serta biaya kampanye politik yang tinggi mengindikasikan bahwa pendanaan terhadap pesta demokrasi sangat mahal.

Belum lagi kompetisi di internal partai dan luar partai yang sangat sengit dapat mempengaruhi kinerja partai.

Salah satu yang diperlukan adalah pendanaan yang melimpah guna memastikan mesin partai bergerak dengan baik.

Implikasinya, tidak jarang partai berada dalam masalah legalitas pendanaan kampanye.

Pendanaan kampanye menerima secara ilegal, atau menerima sumbangan yang tidak ingin disebutkan penyumbangnya menjadi masalah di kemudian hari.

Pada dasarnya, pendanaan kampanye sudah ada payung hukumnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar, kelompok maksimal Rp 25 miliar, dan perusahaan atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp 25 miliar.

Sedangkan untuk memantau gerak-gerik dana kampanye, KPU sudah memberlakukan aturan Nomor 18/2023 menyebutkan dana kampanye yang diperoleh partai politik atau gabungan partai politik atau dari unsur di luar partai politik wajib ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye (RKDK) sebelum digunakan untuk kegiatan kampanye (Solopos, 27/12).

Asas Kemanfaatan

Sumber pendanaan terhadap parpol memang sangat urgen. Bahkan, parpol sudah diberikan payung hukum untuk menerimanya.

Karenanya, selain patuh terhadap aturan hukum, transparansi dana kampanye juga sangat penting untuk ditaati.

Transparansi dana kampanye oleh parpol dan juga kandidat tidak hanya memberikan asas kemanfaatan yang baik bagi publik. Namun juga memberikan asas kemanfaatan bagi kandidat lain.

Baca juga: DPD Partai NasDem Batola Gelar Jalan Seha, Gantikan Kampanye Rapat UmumĀ 

Pertama, untuk memastikan kesetaraan dalam berkompetisi. Sebagai bagian dari elemen penting demokrasi, peserta pemilu dan pilegharus diposisikan setara, baik dalam proses kampanye maupun pendanaan.

Sebab kampanye merupakan hal krusial dalam memperkenalkan kandidat ke publik.

Namun persoalannya, asas kesetaraan ini belum bisa tercipta karena kampanye memerlukan pendanaan.

Apalagi jika kampanye harus bervariatif dan mengikuti perkembangan politik terkini.Ketika fokus masalah variasi serta cakupan kampanye yang lebih luas, yang terjadi adalah kebutuhan pendanaan dari kandidat yang tinggi.Di sinilah kemudian asas kesetaraan tidak lagi terjaga dengan baik.

Tingginya anggarankampanye yang dimiliki oleh salah satu kandidat tentu saja akan menimbulkan ketimpangan dalam sistem kampanye.

Sebab, yang kuat secara finansial akan memonopoli kampanye, baik secara daring maupun luring.

Modal politik yang dimiliki kandidat akan memperkuat pengaruh politik yang dimilikinya (Nassmacher, 2001).

Karenanya, kendali finansial (uang) tidak boleh dijadikan sumber utama dalam sistem kampanye politik.

Sebab jika uang dijadikan kendali, maka tata kelola kampanye pemilu atau pun pilegmenjadi tidak sehat atau setara.Justru yang terjadi adalah bisnis politik akibat kuatnya pengaruh uang tersebut.

Kedua, untuk memastikan tidak terkendalinya parpol dan caleg dari kepentingan penyumbang atau donatur gelap.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendanaan terhadap peserta pemilu dan caleg acap kali datang dari kantong donatur ilegal.

Bahkan pendanaan ilegal ini tidak hanya terjadi di hajatan besar seperti pemilu dan pileg, namun juga pilkada.

Survei yang dilakukan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada sejumlah pasangan calon (paslon) kepala/wakil kepala daerah yang berlaga dalam beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan, sebagian besar calon mengandalkan donasi pihak ketiga.Pada Pilkada 2017, 82,3 persen calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan dibantu oleh donatur.

Sementara pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu donatur 70,3 persen. Dengan demikian, bukan tidak mungkin ketergantungan sejumlah paslon kepada donatur pun kembali terjadi pada perlehatan pemilu dan pileg 2024.

Ketiga, untuk memastikan bahwa biaya kampanye yang tinggi bukan satu-satunya faktor pendorong keberhasilan kandidat atau pun parpol mendulang suara tinggi.

Karisma figur, popularitas, serta kesukaan publik terhadap calon juga penting untuk diperhatikan.

Dengan begitu, kandidat yang terpilih tidak lagi ditentukan oleh biaya politik yang tinggi. Melainkan sikap, rekam jejak dan perilakunya sehari-harinya yang menentukan.

Guna menciptakan transparansi dana kampanye, serta praktik ketidakjujuran tidak selalu terulang dalam setiap pagelaran demokrasi, Bawaslu tidak hanya diberi wewenang secara administratif saja. Lebih dari itu, Bawaslu diberi wewenang yang lebih strategis.

Misalnya, Bawaslu diberi kewenangan mengaudit danmenginvestigasi dana kampanye secara komprehensif.

Selama ini Bawaslu tidak memiliki kewenangan dalam mengaudit dana kampanye peserta pemilu pileg bahkan pilkada secara penuh.

Kendati diberi kewenangan, itu hanya bersifat administratif dan tidak masuk hingga memastikan data kebenaran yang dilaporkan oleh kandidat.

Kelemahan inilah yang membuat kandidat bisa memanipulasi biaya kampanye seperti melebihi batas sumbangan yang ditentukan, penerimaan barang yang tidak bisa dinominalkan dan lain sejenisnya.

Oleh karenanya, Bawaslu tidak boleh hanya menerima laporan audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh KPU yang sebatas audit kepatuhan atau administratif.

Namun punya wewenang lebih luas, yakni untuk mengaudit dan menginvestigasi aliran dana kampanye kandidat.

Dengan demikian, kandidat akan sulit untuk memanipulasi dana kampanye karena diawasi langsung oleh Bawaslu.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved