Kolom
Bahaya Merasa Berjasa
Kebanyakan orang biasa merasa kecewa jika kebaikan yang anda lakukan kepada orang lain dibalas dengan kejahatan
Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID- BAGAIMANAKAH perasaan Anda terhadap orang yang telah banyak menerima kebaikan-kebaikan dari Anda, tetapi ternyata dia justru berbuat jahat kepada Anda?
Jika Anda seperti orang kebanyakan, sungguh wajar jika Anda merasa kecewa. Anda mungkin marah-marah atau menggerutu dalam hati: “Ini orang tak tau diri dan tak tau diuntung. Air susu dibalas air tuba. Lupa kacang akan kulitnya. Kebaikan dibalas dengan kejahatan.” Mungkin akan meluncur pula sumpah serapah. Lebih seru lagi, Anda menjadi panas dan ingin balas dendam. Anda ingin membongkar aibnya, bahkan jika perlu, menjebloskannya ke dalam penjara. Biar tau rasa!
Sebaliknya, bagi kaum Sufi, kecewa dan marah atas perilaku orang lain yang pernah menerima kebaikan kita adalah pertanda bahwa kita tidak ikhlas berbuat baik. Kita berbuat baik karena ingin menerima imbalan pujian, penghormatan dan sikap berterima kasih.
Kita berbuat baik bukan semata-mata karena yakin bahwa perbuatan itu baik, tetapi karena alasan lain. Kita berbuat benar bukan karena sesuatu itu benar, tetapi karena alasan lain. Kita diam-diam menyimpan pamrih.
Sikap pamrih itu tidak akan terjadi jika kita melakukan yang baik dan benar sebagai tugas hidup kita sesuai tanggungjawab yang diemban masing-masing. Ketika seorang pejabat, sesuai kewenangannya, bisa membangun ini dan itu, memberi bantuan ini dan itu, membuat kebijakan ini dan itu, maka sebenarnya dia hanya melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jika dia tidak melakukannya, maka dia tidak melaksanakan amanah dengan baik. Singkat kalimat, dia tak layak mengaku-ngaku berjasa.
Namun, jika dia justru merasa berjasa, dia tidak hanya akan membangga-banggakan jasanya, tetapi juga tanpa malu menuntut macam-macam. Dia berani mengambil barang-barang milik negara untuk kepentingan pribadi sebagai ‘imbalan’ atas jasanya.
Dia juga seringkali meminta layanan istimewa. Ketika orang tidak memberinya pengistimewaan, dia marah-marah. Lalu tanpa malu kampanye ke mana-mana: “Orang-orang itu tidak menghargaiku. Padahal aku ini sangat berjasa.”
Di balik rasa berjasa itu ada ego. Dia merasa dialah yang memiliki kebaikan dan dapat memberi kebaikan. Padahal, semua itu adalah karunia Allah. Seperti kata Ibnu Athaillah, idzâ arâda an yuzhhira fahdlahu ‘alaika khalaqa wa nasaba ilaika (Jika Allah ingin menampakkan karunia-Nya kepadamu, Dia akan menciptakan dan menisbatkan amal kebaikan kepadamu).
Kata al-Syarqawi, orang yang bisa berbuat baik seharusnya malu pada Allah karena ia sama sekali tidak layak untuk menisbahkan sifat-sifat terpuji dan amal kebaikan kepada dirinya sendiri.
Di sini bisa muncul dilema moral yang pelik. Jika kita tidak menyandarkan sifat dan amal baik kepada diri kita, maka apakah kita tidak boleh bangga dengan sifat dan perbuatan baik? Misalnya, bolehkah kita berbangga dengan kemampuan kita menjaga kejujuran dan integritas, di tengah dunia yang korup, palsu dan munafik? Kaum Sufi tentu akan bilang, “Tidak!” Namun, bagaimanakah jika banyak orang di masyarakat justru membenarkan si korup dan menyalahkan si jujur?
Mungkin, bangga bisa jujur di tengah wabah ketidakjujuran adalah suatu kebaikan. Konon, sombong terhadap orang yang sombong itu baik, asalkan dengan tujuan agar si sombong itu tak bisa lagi sombong. Namun, di sini ada jalan licin yang berbahaya.
Bangga akan kebaikan seperti kejujuran mungkin adalah awal dari kehancuran seseorang. Kehancurannya bukan terletak pada kejujurannya, tetapi pada kebanggaannya. Bagaimanapun, rasa bangga bisa membesarkan ego.
Guru Sekumpul pernah menasihatkan, jika kita sulit menyadari bahwa segalanya berasal dari Allah, maka ingatlah bahwa semuanya adalah rahmat Allah, cinta kasih-Nya kepada kita. Alangkah sulitnya melawan hawa nafsu, mengalahkan ego.
Jika kita berhasil mengalahkan ego, maka itu semua bukan karena usaha kita, melainkan karena rahmat-Nya jua. Atas dasar inilah, maka bukan bangga yang muncul, melainkan rasa syukur kepada-Nya bahwa kita bisa bersikap baik dan berbuat baik.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.