Opini

Islam dan Kajian Perilaku Konsumen: Apakah Masih Tabu?

KONFLIK antara agama dan ilmu pengetahuan memang dapat meninggalkan masyarakat dalam kebingungan. Hal ini dapat terjadi karena ketegangan antara dua s

Editor: Edi Nugroho
Dokumentasi Banjarmasinpost.co.id
Qoshid Al Hadi, Dosen Prodi Ekonomi Syariah UNISKA MAB 

Oleh: M. Qoshid Al Hadi
Dosen Prodi Ekonomi Syariah UNISKA MAB

KONFLIK antara agama dan ilmu pengetahuan memang dapat meninggalkan masyarakat dalam kebingungan. Hal ini dapat terjadi karena ketegangan antara dua sumber otoritas yang berbeda dalam menawarkan penjelasan tentang dunia dan kehidupan.

Di satu sisi, agama sering kali menawarkan pandangan yang didasarkan pada keyakinan dan wahyu yang dianggap sebagai kebenaran absolut.

Sementara, ilmu pengetahuan menggunakan metode rasional, pengamatan empiris, dan logika untuk mengeksplorasi dunia dan menyusun penjelasan tentang fenomena alam.

Konflik ini tidak terkecuali dalam kajian perilaku konsumen yang masih dianggap tabu. Misalnya sangkaan bahwa para peneliti konsumen tidak peka adanya hubungan agama dan perilaku konsumsi bahkan anggapan bahwa agama adalah isu sensitif untuk diselidiki jika tidak menimbulkan kontrovesi di kalangan masyarakat.

Baca juga: Judol Tak Cukup Take Down

Baca juga: Surya Paloh Berharap Kehadiran Acil Odah di Pilgub Kalsel Bisa Mengangkat Derajat Perempuan

Namun sebenarnya, bagi para antropolog peran agama penting dalam membentuk pola konsumsi.

Agama menjadi kekuatan paling signifikan dalam mempertahankan budaya dan nilai-nilai masyarakat. Sebagai contoh, ekspresi masyarakat saat berlebaran dan merayakan hari raya. Hal yang paling menonjol adalah pakaian dan kunjungan ke keluarga sambil membawa makanan.

Roda perekonomian segera bergerak menimbulkan efek yang luar biasa. Saat itulah, agama sedang memainkan sebagian perannya.

Bahkan menurut Baznas, potensi yang dimiliki Indonesia dalam dana sosial keagamaan termasuk zakat dapat mencapai angka Rp 327 triliun setiap tahunnya. Sementara tahun 2022 laporan pengelolaan melalui lembaga resmi hanya 4,31 persen atau baru Rp 14,12 triliun dari potensinya.

Jika dana tersebut dihimpun dan dikelola secara optimal tidak mustahil masalah sosial dapat diatasi.

Lalu, bagaimana persepsi tabu dapat diakomodir sehingga tidak menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat dan potensi yang dimiliki oleh agama dapat memberi dampak kesalehan sosial yang besar. Beberapa gagasan di bawah ini mungkin dapat dijadikan sebagai respon atas kegelisahan tersebut.

Pertama, dalam rangka membuka wawasan masyarakat maka ruang dialog penting untuk digalakkan.

Dialog yang dapat meruntuhkan dinding yang selama ini memisahkan urusan agama dan dunia. Pemuka agama tidak lagi sekadar fasih dalam masalah akidah dan ibadah sementara hubungan sesama manusia lepas dari perhatiannya.

Begitu juga para akademisi atau ilmuwan, tidak lagi sekedar cakap diri sendiri dan kehilangan konteks. Terlalu fokus pada diri sendiri cenderung kehilangan relevansi dan kontribusi untuk masalah sosial.

Memakai Istilah fahmul manqush atau paham yang tereduksi mungkin dapat mengurai masalah tabu dan ketidakpahaman. Fahmul manqush bisa diakibatkan oleh orientasi akhirat sehingga perilaku manusia hanya tertuju pada fiqih yang membutuhkan jawaban halal dan haram.

Kemudian menarik diri dari dunia sehingga perilaku keberagamaan menjadi tereduksi atau yang disebut dengan isitilah tadayyun al manqush.

Pemikiran ini telah membuat peran agama menjadi parokial. Agama menjadi alat legitimasi untuk membenarkan perilaku pribadi.

Misalnya, zakat dibayarkan saat ada kepentingan yang lebih menguntungkan layaknya cuci uang, haji pun ikut ditunaikan ketika dapat menambah status sosialnya dan jaringan bisnis dagangnya.

Atau sebaliknya, para konsumen yang juga pemeluk agama menganggap objek-objek duniawi seperti kuburan menjadi sakral yang dibuat menjadi destinasi wisata halal. Hal ini menjelaskan bahwa komoditas profan bisa terkontaminasi oleh agama.

Kedua, menumbuhkan pentingya paham keberagaman. Jika mengutip QS Al Hujrat ayat 13, maka tujuan dari keberagaman adalah untuk saling mengenal dan menjadi pribadi yang paling baik di hadapan Allah. Mustinya agama menjadi tidak sebatas pedoman menuju kehidupan akhirat tapi juga kehidupan yang ramah di alam dunia.

Sulit untuk menyangkal bahwa perilaku konsumen tidak dipengaruhi oleh agama, hanya agama yang dipahami secara ekslusif yang akan mematahkan pentingnya keberagaman.

Dengan paham dan menerima keberagaman, maka masyarakat akan mungkin untuk dapat mengakomodir isu-isu tabu yang dapat menyebabkan konfilik. Begitu juga potensi agama mejadi terbuka untuk kemaslahatan umat.

Satu cerita dari Mu’az yang diutus Nabi Muhammad pergi ke Yaman untuk memutuskan perkara waris. Sorang kafir memiliki dua anak, satu muslim dan lainnya kafir. Berdasarkan hadis nabi, tidak ada waris bagi muslim atas kafir atau sebaliknya.

Namun Mu’az membuat keputusan kontroversial bahwa anak muslim berhak menerima waris dengan alasan sebelum anak itu memeluk Islam, ia berhak atas waris. Nabi bersabda al islam yazidu wa la yanqush artinya Islam itu bertambah dan tidak berkurang.

Meski kontroversi, namun pandangan Mu’az dinilai memiliki terobosan untuk menjaga kepentingan publik yang lebih besar.

Setidaknya begitu juga dengan perilaku konsumsi. Konsumsi tidak hanya mempertimbangkan perut tapi maslahat umat.

Konsumsi yang menimbulkan kecemburuan sosial bahkan kerusakan lingkungan bukanlah perilaku konsumen yang agamis. Sampai di sini, agama seharusnya tidak lagi tabu dalam kajian perilaku konsumen. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved