Opini

Pidana bagi Tersangka Pascamelahirkan, Kajian Kasus Istri Bakar Suami

BEBERAPA headline berita nasional saat ini tengah menyoroti kasus oknum Polwan Briptu (FN) yang membakar suaminya sendiri hingga meninggal.

Editor: Edi Nugroho
Dokumentasi Banjarmasinpost.co.id
Lilik Suryani, S.Psi Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalsel 

Oleh: Lilik Suryani, S.Psi
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalsel

BEBERAPA headline berita nasional saat ini tengah menyoroti kasus oknum Polwan Briptu (FN) yang membakar suaminya sendiri hingga meninggal.

Penyidik Reknata Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan Briptu FN sebagai tersangka (9/6/2024).

Namun berbeda dengan tersangka umumnya yang biasanya ditempatkan di penjara, Briptu FN ditempatkan di Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara Surabaya dan tengah mendapatkan pendampingan psikologis dari Psikiater Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Jatim.

Hal ini tentu mendapatkan reaksi yang beragam dari masyarakat, ada yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut.

Baca juga: Musuh Bernama Judol

Baca juga: Curah Hujan Sangat Tinggi, Pegunungan di Tanahlaut Masuk Daftar Potensi Tanah Longsor

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto menjelaskan bahwa alasan Briptu FN tidak ditahan di sel penjara dikarenakan saat ini tengah memberikan air susu ibu (ASI) terhadap ketiga anaknya yang masih Balita.

Mengutip Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa tersangka atau terdakwa kasus hukum dapat meminta penangguhan penahanan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim. Regulasi inilah yang menjadi dasar penangguhan penahanan Briptu FN.

Atas dasar kemanusiaan penahanan Briptu FN ditangguhkan guna memastikan dapat terus merawat dan menyusui anaknya meskipun sedang menghadapi proses hukum. Namun, adakah pasal lain yang dapat membebaskan Briptu FN dari jeratan pidana, mengingat dirinya saat ini tengah mengasuh ketiga anaknya yang masih Balita ditambah 4 (empat) bulan lalu Briptu FN baru melahirkan anak kembarnya?

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri dalam tayangan di salah satu stasiun televisi menyatakan bahwa kemungkinan perbuatan sadis yang dilakukan oleh Briptu FN terhadap suaminya bisa dikarenakan sindrom baby blues.

Ini merupakan kondisi umum yang dialami oleh ibu pascamelahirkan dengan ciri-ciri yakni terjadi perubahan suasana hati, mudah tersinggung, merasa cemas, sulit tidur, tidak nafsu makan dan kadang memunculkan perasaan tidak sayang dengan anak yang baru dilahirkan, namun tidak sampai menganggu aktivitas sehari-hari.

Hal ini dianggap umum karena pada masa ini merupakan proses peralihan menjadi seorang ibu. Jika mendapatkan lingkungan yang mendukung sindrom ini akan hilang dengan sendirinya dalam kurun waktu satu hingga dua minggu pascamelahirkan.

Namun apabila kondisi tersebut tetap bertahan dalam kurun waktu lebih dari satu hingga dua minggu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan memunculkan keinginan atau perilaku ingin menyakiti diri sendiri, anak serta orang di sekitar, maka kondisi tersebut akan mengarah pada postpartum depression atau depresi pasca melahirkan.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penderita sindrom baby blues memiliki resiko besar menjadi penderita postpartum depression.

Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V) yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiater Amerika sekaligus buku pedoman diagnosa gangguan kejiwaan, mencantumkan bahwa postpartum depression termasuk salah satu gangguan kejiwaan, ditandai dengan episode perubahan suasana hati secara drastis dengan atau ciri-ciri psikotik, beberapa penderita postpartum depression dengan ciri-ciri psikotik bahkan disertai dengan adanya halusinasi dan delusi yang memunculkan perintah sang ibu untuk membunuh bayinya, dirinya, hingga oranglain.

Oleh karenanya sering kita mendengar berita seorang ibu yang tega menghabisi nyawa bayinya sendiri.


Selama ini kita mengira bahwa kejiwaan hanya terbatas pada gangguan jiwa berat misalnya schizophrenia, namun ternyata depresi yang dialami ibu pascamelahirkan juga tergolong dalam gangguan kejiwaan, dengan catatan bahwa telah dilakukan diagnosis oleh tenaga medis profesional.

Dalam ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapusan pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf. Alasan pemaaf akan diberikan jika pelaku suatu tindak pidana tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya lantaran pelaku tidak waras. Lebih jelas dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menjelaskan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP pun menjelaskan bahwa yang dimaksud disabilitas mental dan intelektual didalamnya termasuk orang dengan gangguan depresi.

Menjawab pertanyaan sebelumnya, jika saat ini Briptu FN ditangguhkan penahananya dikarenakan sedang melaksanakan tanggungjawabnya memberikan ASI kepada ketiga anaknya, lantas apakah bisa Briptu FN lepas dari jeratan pidana? Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP diatas, jika ternyata pelaku tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf dimana pelaku tidak dapat dipidana.

Namun, juga berlaku Pasal 44 ayat (2) yang berbunyi bahwa jika tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Pada akhirnya hakim lah yang memiliki kuasa penuh dalam memutuskan dapat tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa dalam proses penentuan tersebut, hakim perlu meminta nasehat dari tenaga medis profesional yang ahli dibidangnya, kaitanya dengan kasus ini adalah dokter kejiwaan.

Pembuktian berupa diagnosis dari tenaga medis profesional inilah yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memberikan amar putusan. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kita dan Affan

 

Hidup Sederhana dalam Islam

 

Menggemakan Suara Buruh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved