Opini Publik
Kerikil-kerikil di Jalan Keadilan
MENGINJAK perayaan kemerdekaan RI yang ke-79, lemahnya kualitas penegakan hukum dan keadilan kiranya masih menjadi persoalan pelik bangsa ini
Oleh: Akmal Adicahya, S.H.I., M.H. Hakim Pengadilan Agama Batulicin
BANJARMASINPOST.CO.ID - MENGINJAK perayaan kemerdekaan RI yang ke-79, lemahnya kualitas penegakan hukum dan keadilan kiranya masih merupakan salah satu persoalan pelik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Berita atas praktik buruk di sejumlah lembaga penegak hukum marak terdengar dan dengan mudah ditemukan. Tidak terkecuali pada institusi Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.
Suap, gratifikasi serta praktik koruptif di pengadilan adalah beberapa masalah besar yang terus diperbincangkan. Berdasarkan catatan KPK, tiga tahun terakhir ini (2021-2023) pengadilan nyaris tidak pernah absen menjadi penyumbang pelaku tindak pidana korupsi.
Korupsi adalah tembok besar yang menghalangi masyarakat untuk menggapai keadilan. Semua pihak menyadari dan menyetujui dibutuhkan upaya yang besar serta kuat untuk dapat merubuhkannya.
Sayangnya akses atas keadilan seringkali tidak hanya dihalangi oleh tembok besar tersebut. Tidak jarang pencari keadilan justru tersandung oleh kerikil-kerikil kecil yang seringkali tidak terpikirkan. Seperti persoalan mahalnya biaya untuk berperkara, minimnya kapasitas masyarakat untuk dapat mengikuti prosedur peradilan hingga soalan jauh serta sulitnya akses menuju gedung kantor pengadilan dari tempat tinggal warga.
Biaya Ringan
Ungkapan melapor hilang kambing malah hilang sapi rasanya masih cukup relevan untuk menggambarkan mahalnya akses keadilan di Indonesia. Mahkamah Agung memang menyediakan layanan pembebasan biaya bagi masyarakat tidak mampu. Akan tetapi jumlah perkara yang dapat memperoleh layanan ini sangatlah terbatas. Para pihak masih perlu untuk mempersiapkan diri membayar panjar agar dapat mendaftarkan gugatan perdatanya ke pengadilan.
Besaran panjar ini bervariasi bergantung biaya pemanggilan yang berlaku di setiap pengadilan. Semakin jauh dan sulit akses menuju lokasi pihak yang dipanggil dari kantor pengadilan, semakin mahal panjar biaya yang perlu dibayarkan. Dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Banjarmasin misalnya, panjar biayanya berkisar pada ratusan ribu hingga lebih dari dua juta rupiah. Berbeda halnya dengan panjar biaya di Pengadilan Agama Kotabaru yang dapat menyentuh angka puluhan juta rupiah karena sejumlah daerah hanya dapat diakses melalui jalur laut.
Perlu diingat upah minimum Provinsi Kalimantan Selatan ada di kisaran tiga juta rupiah. Bahkan rata-rata pendapatan bersih pekerja informal di wilayah banua pada tahun 2023 menurut BPS berada di kisaran ratusan ribu hingga tiga juta rupiah per bulan. Artinya masyarakat perlu menyisihkan seluruh pendapatan atau bahkan beberapa bulan upah untuk dapat mengajukan gugatan. Karenanya, tidak mengherankan jika untuk sekadar mendaftarkan gugatan perlu menabung berbulan-bulan lamanya. Atau dalam konteks perceraian, tidak jarang gugatan didaftarkan setelah ada calon pasangan baru yang bersedia menanggung biaya.
Kondisi di atas bukannya tidak disadari oleh Mahkamah Agung. Sejak tahun 2018 telah dikembangkan proses peradilan elektronik, sehingga pemanggilan cukup dikirimkan melalui e-mail para pihak. Bagi pihak yang tidak memiliki e-mail, Mahkamah Agung telah melakukan kerjasama dengan PT POS Indonesia untuk melakukan pemanggilan.
Keterampilan Hukum
Kalaupun memiliki biaya, tidak serta merta seseorang dapat bersidang di depan pengadilan. Perlu adanya surat gugatan dan bukti yang harus disiapkan. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan yang memadai untuk dapat mempersiapkan dokumen tersebut. Oleh karena itu sejumlah besar pengadilan bersama-sama dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) menyediakan Posbakum (Pos Bantuan Hukum) yang diantara fungsinya ialah untuk memberikan nasehat serta membantu menyusun gugatan bagi pihak kurang mampu. Laporan Kinerja Mahkamah Agung RI Tahun 2023 menyebutkan bahwa terdapat setidaknya 211.979 orang yang dilayani oleh Posbakum di lingkungan Peradilan Agama.
Selain Posbakum untuk masyarakat kurang mampu, pada lingkungan peradilan agama tersedia layanan gugatan mandiri yang memungkinkan para pihak untuk menyusun sendiri gugatannya. Layanan berbentuk aplikasi ini akan membimbing para pihak dalam menyusun garis besar gugatan.
Sementara ini penyusunan gugatan secara mandiri terbatas pada perkara tertentu saja, seperti gugatan cerai, permohonan itsbat nikah dan permohonan dispensasi perkawinan. Baik posbakum dan juga layanan gugatan mandiri terbatas membantu para pihak menyusun gugatan atau dokumen persidangan. Padahal tidak jarang para pihak merasa butuh untuk didampingi di dalam ruang sidang.
| Refleksi Hari Santri Nasional, Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman |
|
|---|
| Hari Kebudayaan Nasional dan Urgensi Penguatan Budaya Digital |
|
|---|
| Menilik Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah |
|
|---|
| Dilematik Pengembalian 30.000 Artefak Indonesia dari Belanda |
|
|---|
| September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.