Kolom

Perhatikan Masa Depan Korban

KEJADIAN menggemparkan terjadi Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (23/9/2024)

Editor: Edi Nugroho
scmp.com
Ilustrasi 

KEJADIAN menggemparkan terjadi Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (23/9/2024). Seorang ayah tega mencabuli anak kandungnya sendiri yang masih berusia 14 tahun. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali.

Bahkan dari hasil pemeriksaan sementara oleh pihak Kepolisian, pelaku juga sempat menjual anaknya itu kepada seorang temannya. Aksi bejat ayah terhadap anak kandung juga pernah terjadi di awal tahun tadi.

Anggota Polda Kalsel menangkap SR (40), seorang ayah yang telah mencabuli anak kandungnya sendiri di Banjarmasin, Rabu (24/1/2024). Korban pun mengalami trauma berat. Tersangka ditangkap  setelah polisi mendapatkan laporan dari ibu kandung korban sehari sebelumnya.

Tidak hanya di Banjarmasin, tapi daerah lain juga terjadi kasus serupa. DS (35) ditangkap aparat Polres Tanahbumbu karena memperkosa anak kandungnya yang berusia 11 tahun. Aksi bejat pelaku dilakukan berulang kali sejak tahun 2020 saat anaknya masih berusia 8 tahun.

Baca juga: Kalsel Dapat Tambahan Pesawat Cesna 208 untuk Tangani Karhutla, Tugasnya Pantau Titik Api

Baca juga: 306 Pelajar Balangan Terima Beasiswa Kartu Balangan Pintar, Ini Rinciannya

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) banyak mendapatkan pengaduan atas kasus kejahatan terhadap anak. Perbuatan tindak pidana itu didominasi oleh ayah kandung.

Banyaknya kasus seperti ini patut menjadi perhatian bersama. Berdasarkan catatan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI Tahun 2023, ada 262 kasus kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Sekitar 9,6 persen dilakukan oleh ayah kandung. Kemudian, disusul oleh ibu kandung dengan jumlah 153 pengaduan atau 6,1 persen dari keseluruhan kasus tindak kekerasan.

Terjadinya kasus memilukan ini memang dipengaruhi banyak faktor. Tidak hanya masalah moral, tapi juga ekonomi, pendidikan dan lemahnya pengawasan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan domestik sehingga enggan turut campur, malah memperburuk kondisi korban dan membuat terus berlangsungnya kekerasan itu sendiri.  

Terlepas dari sanksi tegas yang harus dijatuhkan pada para pelaku kejahatan ini, perlu ada upaya untuk meningkatkan perlindungan anak termasuk dalam rumahnya sendiri. Anak yang menjadi korban kekerasan membutuhkan bantuan terkait perawatan kesehatan, dukungan psikologi dan sosial, keamanan dan perlindungan hukum.

Hal ini penting karena anak masih sangat bergantung pada orang-orang dewasa demi kelangsungan hidupnya. Mereka juga belum mampu untuk memperoleh hak-haknya.

Setiap anak yang mengalami kekerasan juga memerlukan trauma healing agar kondisi psikologis kembali pulih. Pendampingan psikologis yang berkelanjutan dengan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar serta intervensi oleh profesional kesehatan mental jadi prioritas. (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved