Kolom
Takdir, Kebetulan dan Pilihan
Dalam istilah Islam, takdir, berasal dari kata “qadar” yang artinya ukuran, batasan, Dalam Al Qur’an, kata taqdîr cenderung bermakna hukum alam
Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID - HARI itu, Selasa, 19 November 2024. Saya mendapat telepon dari Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Antasari, Dr. Ridha Dharmawati. “Pak, hasil akreditasi kita dari BANPT sudah keluar,” katanya. “Apa hasilnya?” tanyaku. “Unggul pak,” jawabnya. “Alhamdulillah. Terimakasih.”
Saya pun langsung ke kantor Humas, yang berseberangan dengan ruangan saya, untuk memberitahukan kabar gembira ini. Mereka girang sekali. “Beritakan ke publik melalui berbagai saluran kita,” kataku. “Besok, 20 November, kita juga Dies Natalis,” kata mereka. “Oh, iya. Saya sampai lupa,” kataku.
Esok harinya, saat sambutan di acara “Tasyakuran”, saya mengajak teman-teman yang hadir untuk berpikir, apakah keberiringan akreditasi unggul dan Dies Natalis ke-60 UIN Antasari itu kebetulan belaka? Kebetulan artinya terjadi tanpa sengaja, tidak terduga, dan tidak disangka-sangka.
Saya kira, dari sudut pandang manusia yang terbatas, jelas keberiringan itu tidak kami rencanakan dan tidak pula kami atur sebelumnya. Ia terjadi begitu saja, mengalir bersama waktu. Uniknya, ini adalah kebetulan yang menambah, bukan mengurangi, bobot dan makna kegembiraan kami.
Namun, dari sudut pandang kaum beriman, sesungguhnya tidak ada yang terjadi di muka bumi ini, termasuk sebutir debu yang diterbangkan angin, yang terlepas dari ketentuan Tuhan. Dalam istilah Islam, hal ini disebut “takdir”, berasal dari kata “qadar” yang artinya ukuran, batasan.
Dalam Al Qur’an, kata taqdîr cenderung bermakna hukum alam, yang mengatur, memberi ruang sekaligus membatasi, semua yang ada. Dalam batasan itu, kita diberi-Nya kebebasan memilih dan mengusahakan apa yang kita inginkan. Kebebasan inilah yang menjadi dasar tanggung jawab kita.
Memilih dan berusaha mewujudkan pilihan itu disebut ikhtiyâr (Indonesia: ikhtiar). Setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai pilihan, dari hal-hal kecil seperti memakai baju apa dan memakan apa, hingga hal-hal serius seperti mau kuliah di jurusan apa atau menikah dengan siapa.
Tiap orang menghadapi peluang pilihan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Artinya, tiap orang takdirnya berbeda-beda. Bagi orang miskin yang mempunyai tiga baju saja, tentu pilihannya sangat terbatas dibanding orang kaya yang memiliki baju satu lemari.
Dengan demikian, takdir adalah pembatasan ruang-gerak ikhtiar, bukan meniadakan ikhtiar. Batas-batas hidup yang tidak bisa kita kendalikan adalah titik-titik takdir yang kemudian kita rasakan sebagai kebetulan.
Kita tidak bisa menentukan siapa ayah dan ibu kita, dan seperti apa wajah anak-anak kita. Bahkan suami atau istri kita umumnya mula-mula bertemu secara kebetulan belaka. Hidup ini amat luas dan kompleks sehingga mustahil bagi kita untuk mengontrol semuanya sesuai keinginan kita, seluas apapun ilmu kita, dan sebesar apapun kekayaan dan kekuasaan kita.
Keterbatasan yang disebut kebetulan itu adalah kenyataan hidup, yang tak bisa disangkal oleh siapa pun, baik oleh kaum beriman ataupun kaum yang tak percaya pada Tuhan. Namun mereka berbeda dalam memaknai dan menyikapinya.
Bagi kaum ateis, kebetulan adalah memang kebetulan, karena semua yang ada di alam semesta ini menurut mereka juga kebetulan, yakni ada dengan sendirinya, tak ada yang merencanakan dan menciptakannya.
Sebaliknya, bagi kaum beriman, yang kita anggap sebagai kebetulan itu sesungguhnya adalah tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Di sisi lain, berbeda dengan hewan, kebebasan memilih yang dimiliki manusia mencakup kebebasan moral, yaitu memilih antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Kebebasan moral inilah yang dapat membuat manusia lebih mulia dari malaikat, atau lebih hina dari binatang.
Dalam menentukan pilihan ini, tujuan hidup menjadi sangat penting. Apakah hidup ini sekadar ingin bersenang-senang, atau lebih dari itu, ingin melaksanakan tanggung jawab? Apakah hidup ini untuk melayani dan membahagiakan sesama, atau lebih tinggi lagi, untuk menggapai cinta dan rida Tuhan?
Pilihan yang kita tentukan itu akan tampak dalam sikap dan perbuatan. Sikap dan perbuatan itu ada yang baik, buruk, atau netral. Yang baik adalah yang mendatangkan manfaat di dunia dan di akhirat.
Yang buruk adalah sebaliknya, rugi di dunia atau di akhirat. Bagi kaum beriman, rugi di dunia dan untung di akhirat juga tergolong baik. Yang netral adalah yang boleh dikerjakan tanpa konsekuensi moral, pahala atau dosa.
Perbuatan netral juga bisa buruk jika sia-sia. Berselancar di internet itu boleh alias netral, tetapi jika tak tentu arah, berarti membuang-buang waktu saja.
Tahun lalu dan Tahun Baru, datang dan pergi silih berganti. Hidup akan terus mengalir, bergerak dan berubah, tetapi semua berada dalam gengam takdir-Nya. Banyak kebetulan yang terjadi di luar kendali kita, dan banyak pula pilihan hidup yang harus kita putuskan dan pertanggungjawabkan.
Waktu adalah salah satu takdir kita, pembatas hidup kita. Waktu akan berlalu sia-sia kecuali jika kita beriman dan berbuat baik, serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran (QS 103).
Selamat Tahun Baru 2025. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.