Thrifting di Kalsel

Pakar Ekonomi ULM Soal Maraknya Bisnis Thrifting, Sebut Perlu Regulasi Bukan Penghapusan

Adalah pakar Ekonomi ULM Prof Handry Imansyah mengatakan maraknya bisnis thrifting di Indonesia mencerminkan dinamika ekonomi

Foto Ist
Prof Handry Imansyah, Pakar Ekonomi Dosen FEB ULM 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN- Pakar Ekonomi ULM Prof Handry Imansyah mengatakan maraknya bisnis thrifting di Indonesia mencerminkan dinamika ekonomi yang tumbuh karena adanya permintaan nyata dari masyarakat.

Pasar barang bekas menunjukkan sebagian konsumen mencari produk bermerek dengan kualitas tinggi, namun tetap terjangkau. Jadi meski bekas, nilai gunanya masih tinggi. Bagi konsumen, ini menghadirkan konsep value for money—harga ramah, kualitas prima.

Sementara dari sudut pandang ekonomi, thrifting memperlihatkan efisiensi alokasi sumber daya: barang yang masih layak pakai, tidak terbuang dan mampu menggerakkan ekonomi sirkular.

Nilai ekonomi bisnis thrifting pun meningkat karena kehadiran ekosistem digital. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan pelaku usaha memperluas jangkauan tanpa biaya besar, sekaligus membangun interaksi langsung dan kepercayaan dengan konsumen.

Namun, kebijakan pelarangan impor balpres yang diterapkan pemerintah menimbulkan perdebatan. Tujuannya memang untuk melindungi industri lokal, tetapi dari perspektif kebijakan ekonomi, larangan total berpotensi kontraproduktif.

Baca juga: Pedagang Thrifting Kalsel Minta Solusi, Disdag Dukung Pengetatan Impor

Baca juga: Penerbangan Kalsel Langsung ke Arab Saudi Bakal Dibuka, Travel Sambut Positif

Ketika permintaan tetap tinggi sementara pasokan legal dibatasi, pasar akan mencari jalan pintas. Risiko penyelundupan dan terbentuknya pasar gelap meningkat, negara kehilangan potensi penerimaan pajak, dan pengawasan mutu barang menjadi sulit dilakukan.

Alternatif yang lebih realistis adalah menerapkan tarif impor moderat bagi barang bekas berkualitas. Kebijakan semacam ini dapat menyeimbangkan perlindungan terhadap produsen lokal dengan kebebasan konsumen memilih produk. Negara tetap memperoleh pendapatan, sementara pelaku industri dalam negeri terdorong untuk bersaing secara sehat.

Pelarangan juga membawa dampak sosial-ekonomi yang tidak kecil. Banyak pelaku thrifting  merupakan UMKM yang menggantungkan penghidupan pada bisnis ini dan telah memiliki jaringan pelanggan luas. Penutupan akses impor berisiko memutus mata rantai ekonomi yang telah terbentuk, mengurangi lapangan kerja, serta menghilangkan sumber pendapatan bagi ribuan keluarga.

Pendekatan yang lebih konstruktif adalah menyediakan regulasi yang jelas, mulai dari sertifikasi kelayakan produk, standar higienitas, hingga kewajiban perpajakan.

Jika pelarangan tetap dipertahankan, pola “kucing-kucingan” antara pelaku usaha dan aparat di lapangan hampir tak terhindarkan. Selama permintaan tidak dihilangkan, pasokan akan mencari celah. Pada akhirnya, tujuan melindungi industri lokal bisa gagal tercapai karena barang ilegal tetap masuk, sementara distorsi ekonomi justru semakin besar.

Karena itu, solusi yang lebih tepat adalah pendekatan regulatif yang adaptif dan berbasis insentif. Pemerintah dapat mengenakan tarif impor yang cukup memberi ruang bagi produk lokal bersaing, sekaligus memastikan kualitas barang bekas yang beredar sesuai standar.

Di saat bersamaan, pembinaan bagi pelaku thrifting serta integrasi konsep reuse–recycle–upcycle ke dalam industri lokal dapat memperkuat ekonomi sirkular. Pendekatan yang seimbang semacam ini tidak hanya melindungi produsen domestik, tetapi juga menjaga efisiensi pasar, penerimaan negara, keberlanjutan lapangan kerja, dan mendukung agenda Pembangunan Berkelanjutan yang tengah digalakkan pemerintah. (msr)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved