Opini
Refleksi Hardiknas 2019, Menguatkan Pendidikan dan Memajukan Kebudayaan
Terjadi semacam anomali dalam dunia pendidikan dan kebudayaan kita. Hal tersebut nampak dari belum tercapainya salah satu cita-cita luhur kemerdekaan
Oleh: Muh. Fajaruddin Atsnan MPd
Dosen STKIP PGRI Banjarmasin
Pemerhati Pendidikan
BANJARMASINPOST.CO.ID - Terjadi semacam anomali dalam dunia pendidikan dan kebudayaan kita. Hal tersebut nampak dari belum tercapainya salah satu cita-cita luhur kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dikarenakan masih banyak anak bangsa yang belum mencicipi pendidikan layak dan adil.
Meskpun data Kemdikbud mencatat ada siklus penurunan jumlah anak putus sekolah dalam 2 tahun terakhir, yakni di 2018 sebanyak 32.127 siswa, berkurang 27.939 siswa dari tahun 2016, tetapi belum semua pihak merasakan nikmat pendidikan.
Di sisi lain, di dunia kebudayaan, anomali juga tampak dari mudahnya budaya luar (asing) masuk ke dalam negeri dan kurangnya pengajaran budaya tradisional asli bumi pertiwi kepada generasi muda kita. Alhasil, tidak sedikit dari generasi muda kita, lebih paham seluk beluk budaya dan trend dari luar, ketimbang seluk beluk budaya daerahnya sendiri.
Tantangan Pendidikan dan Kebudayaan
Seiring dengan perkembangan dunia global yang begitu cepat, yang ditandai dengan menguatnya teknologi informasi tak jarang memunculkan masalah yang makin kompleks, sehingga perlu sesegeranya revitalisasi dunia pendidikan nasional.
Yaitu berupa penguatan pendidikan melalui transformasi pendidikan yang memprioritaskan pada metode pendidikan yang formal dan berbasis teori, menjadi pendidikan yang melebur secara langsung dengan budaya. Sehingga, antara pendidikan dan kebudayaan saling bersimbiosis mutualisme, untuk mengikis masalah yang muncul.
Baca: Jadwal MotoGP Spanyol 2019 Live Trans7, Marc Marquez dan Jorge Lorenzo Tercepat di FP, Rossi Jeblok
Baca: LINK Live Streaming MNC TV! Jadwal & Prediksi Persib Bandung vs Borneo FC di Piala Indonesia
Baca: Dul Jaelani Tiba-tiba Duet Bareng Ari Lasso, Padahal Niatnya Mau Nonton Konser Dewa
Saat ini, pendidikan dan kebudayaan (kembali) menjadi isu strategis dan menjadi magnet pembicaraan masyarakat, khususnya pemerhati pendidikan dan kebudayaan, terutamanya pendidikan nasional kita yang masih tentatif, berubah-ubah belum menemukan roadmap yang terstruktur dengan rapi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan Undang Undang. Sedangkan untuk kebudayaan, ada semacam kekhawatiran akan makin lunturnya budaya orisinil kita, sebagai dampak masuknya budaya asing yang kemudian menjadi trend di kalangan muda, sehingga mereka (kaum muda) justru tak begitu paham akan budaya daerahnya sendiri. Untuk mengompilasi keduanya agar menjadi suatu hubungan yang harmonis dan menguntungkan, maka perlu dimulai dengan menyelenggarakan pendidikan sesuai amanat Undang Undang.
Pertama, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Semua warga negara punya kedudukan dan hak yang sama untuk mengeyam pendidikan, tanpa terkecuali.
Namun patut disayangkan, ketika hampir 74 tahun Indonesia merdeka, harapan terwujudnya kesetaraan kesempatan memperoleh pendidikan di seluruh pelosok tanah air belum sepenuhnya tercapai. Masih ada gap antara si kaya dan si miskin dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Dalam konteks pendidikan yang demokratis, sedikit banyak sudah terejawantahkan dalam miniatur proses pembelajaran, dengan porsi siswa untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar, (diharapkan) makin dominan. Siswa diberikan kesempatan untuk memahami, kemudian bertanya, dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dengan guru memberikan scaffolding (bantuan) ketika siswa menemukan kesulitan.
Selanjutnya, perihal pendidikan yang berkeadilan, masih terus berharap pada kepedulian pemerintah untuk merangkul generasi putus sekolah, melalui pengintensifan program-program pendidikan seperti kejar paket A,B,C. Selain itu, pendidikan berkeadilan bermakna refleksi atas implementasi standardisasi pendidikan, terutama menyangkut sarana dan prasarana. Adanya standardisasi pendidikan, khususnya di bidang fasilitas pendidikan yang dilakukan pemerintah, memungkinkan kualitas pendidikan yang selevel/setara, antara sekolah kota dan sekolah pinggiran, sehingga perbedaan mencolok antara sekolah kota dengan fasilitas yang memadai, dengan sekolah pinggiran dengan fasilitas “seadanya”, bisa diminimalkan. Harapannya tentu, education for all, pendidikan tanpa diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai budaya, dan heterogenitas bangsa, bisa terwujud.
Kedua, pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Kesatuan sistemik antar tripusat pendidikan yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan harapan bersama, yaitu menguatkan pendidikan.
Integrasi antar ketiganya dengan memahami fungsi, peran masing-masing, serta hubungan timbal balik, diharapkan dapat membantu terselenggaranya pendidikan nasional yang jelas dan bermutu.
