Roh yang ‘Oncat’
PADA umur 20 tahun Soekarno mendapatkan ilham politik yang kuat menerangi pikirannya. Ilham itu terus menggoda siang dan malam.
Para pendukung PDI yang melakukan orasi di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta, dibubarkan paksa oleh aparat sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli.
Pemilu 1998 adalah akhir dari perjalanan PDI. Perolehan suaranya anjlok. Pada saat yang sama Mega yang terus digencet oleh pemerintah dengan gagah mendirikan partai baru, PDIP yang kita kenal hingga sekarang. PDIP belum ikut pemilu karena bukan partai yang resmi tapi pendukungnya sangat banyak.
Orang tidak mempersoalkan ideologi PDIP karena yang dilihat Mega yang berarti tak menyimpang dari ajaran Bung Karno. Benar saja tujuan perjuangannya sama, antara lain membebaskan rakyat dari penindasan. Roh marhaenisme yang semula ada dalam tubuh PDI oncat (pergi) ke PDIP. PDI (yang lama) pelan tapi pasti terkubur.
Tak ayal lagi, PDIP tak bisa dipisahkan dari marhaenisme yang bercirikan kebersamaan, gotong royong, kerakyatan. Ajaran Bung Karno terasa ibarat rohnya PDIP.
Dalam setiap pemilu di zaman reformasi ini, banyak partai baru bercirikan nasionalisme, bahkan ada yang bernama PNI. Tapi tidak ada getaran, tidak ada roh, orang lebih berpaling ke PDIP.
PDIP berciri sebagai partainya wong cilik. Pada pemilu 2014 PDIP mengulangi kemenangan pada 1999, bahkan berikut pilpresnya yang dimenangi Joko Widodo.
Zaman terus berubah, kepentingan juga berubah. Masihkan ajaran Bung Karno bersemayam di tubuh PDIP? Apa roh itu sudah oncat? (*)