Memanjakan Koruptor
Selama ini pemberian remisi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999.
Oleh: Pramono BS
LAMBAT tapi pasti nasib koruptor di Indonesia makin cerah.
Setelah Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) banyak berisi upaya pelemahan fungsi dan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kriminalisasi pimpinan KPK, kini Menkum HAM Yasonna Hamonangan Laoly bertekad memperlonggar syarat remisi (pengurangan masa tahanan) koruptor.
Katanya, remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak napi termasuk napi koruptor.
Selama ini pemberian remisi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999.
Berdasar peraturan itu, remisi pada napi kasus korupsi, narkotika dan terorisme diberikan apabila yang bersangkutan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu perkara. Oleh karena itu pemberian remisi harus minta persetujuan KPK atau Kejaksaan.
Itulah yang membuat hati Menkum HAM terusik karena dirasa diskriminatif. Ia tidak setuju koruptor dipersulit mendapatkan remisi. Menurut dia, kalau napi tidak bisa diajak bekerja sama maka hukumannya bisa ditambah oleh hakim, bukan pihaknya yang harus memperberat dengan tidak memberi remisi. Semua napi, punya hak sama dalam pembebasan bersyarat, pendidikan dan pelayanan.
Menurut UU Pemasyarakatan, Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemasyarakatan sebagai ganti kepenjaraan. Penjara bukan pembalasan tapi tempat pembinaan. Jadi filosofinya untuk memperbaiki agar setelah keluar bisa berguna lagi bagi masyarakat.
Pertanyaannya, kalau semua napi mendapat hak yang sama mengapa para koruptor disatukan di Lapas Sukamiskin, Bandung. Di tempat ini mereka mendapat fasilitas lebih baik dan keringanan psikologis karena berada dalam satu komunitas. Kalau bebas, juga masih bisa jadi pejabat lagi, bahkan ada yang bisa menjadi pimpinan DPRD.
Kenapa tidak dicampur dengan napi kasus lain agar merasakan pembinaan yang sesungguhnya. Koruptor itu menyengsarakan orang banyak, jadi jangan nasib koruptornya yang dipikir sementara rakyat yang jadi korban dibiarkan. Lantas di mana efek jeranya?
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini hampir berada di titik nadir. KPK dipreteli, pengadilan tebang pilih, dan Mahkamah Agung tidak berani menjatuhkan peringatan pada hakim yang melanggar UU demi memenangkan tersangka koruptor.
Pemerintah pun makin tidak tegas dan terkesan mengakomodasi koruptor.
Terlalu sedikit koruptor yang dipenjara dibanding yang di luar penjara. Yang berada di luar itu bisa karena belum ketahuan, belum sempat diringkus atau dibebaskan oleh hakim. Bahkan baru jadi tersangka pun bisa dianulir lewat praperadilan.
***
Kita bersyukur masih ada hakim Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar dari PN Purwokerto, Jateng. Dia menolak permohonan praperadilan Mukti Ali, pedagang sapi asal Purwokerto yang menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka. Hakim berpendapat, berdasar pasal 77 KUHAP, penetapan tersangka bukan objek praperadilan.