Opini Publik
Problematika Optimalisasi Zakat di Indonesia
Zakat produktif merupakan model penyaluran dana zakat yang mendorong penerimanya untuk menggunakan dana tersebut sebagai modal usaha.
Oleh: Muhammad Rifqi Hidayat SHI MSY
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari
BANJARMASINPOST.CO.ID - September mendatang, Kalimantan Selatan akan menjadi tuan rumah Festival Ekonomi Syariah untuk kawasan Indonesia Timur. Event yang digawangi oleh Bank Indonesia dan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) ini merupakan kesempatan besar untuk mempromosikan industri halal di Kalimantan Selatan.
Kegiatan ini juga sekaligus menjadi media untuk mendiskusikan arah dan strategi untuk mengambangkan ekonomi syariah. Salah satu tema yang dibahas adalah model pemberdayaan ekonomi melalui dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Isu optimalisasi dana ZISWAF ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pemberian atau penyaluran dana zakat dalam bentuk pembiayaan usaha misalnya, yang lebih dikenal dengan istilah zakat produktif, sudah dilakukan sejak lama oleh berbagai lembaga.
Zakat produktif merupakan model penyaluran dana zakat yang mendorong penerimanya untuk menggunakan dana tersebut sebagai modal usaha, dan tidak dipakai untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Modal usaha tersebut kemudian harus dikembalikan oleh penerima zakat kepada penyalur zakat dengan cara cicil. Dengan demikian, dana zakat yang dijadikan modal usaha tersebut dapat berkembang sehingga penerima zakat ini bisa terbebas dari jerat kemiskinan.
Zakat Produktif dan Zakat Profesi
Penelitian mengenai zakat produktif ini pun sudah sangat sering dilakukan, baik dalam tataran konsep maupun praktis. Tika Widiastuti dan Suherman Rosyidi dari Universitas Airlangga, pada tahun 2015 menerbitkan artikel berjudul “Model Pendayagunaan Zakat Produktif oleh Lembaga Zakat dalam Meningkatkan Pendapatan Mustahiq”.
Riset ini menawarkan model pemberian zakat produktif berbasis komunitas, dimana calon penerima zakat diikutsertakan sebagai anggota komunitas tertentu sehingga mempermudah pengawasan dari lembaga zakat yang menyalurkannya.
Kemudian di tahun 2018, Andi Mardiana dan Agustin Y. Lihawa dari IAIN Sultan Amai Gorontalo menerbitkan artikel berjudul “Pengaruh Zakat Produktif dan Minat Berwirausaha Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat Miskin Pada BAZNAS Kota Gorontalo”. Riset ini menemukan bahwa zakat produktif dan minat berwirausaha mempengaruhi peningkatan pendapatan orang miskin sebesar 34.1 persen.
Kemudian dalam hal pengumpulan zakat, muncul juga ide menarik yang dinamakan dengan istilah zakat profesi, dimana zakat yang dulunya hanya diwajibkan kepada pelaku industri pertanian, perdagangan, peternakan, dan tambang, juga dibebankan kepada profesi lainnya.
Profesi yang dimaksud meliputi berbagai macam jenis pekerjaan seperti PNS, dokter, pengacara, hakim, karyawan perusahaan, dan sebagainya yang nominal pendapatannya melebihi batasan tertentu (nisab).
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) selaku lembaga zakat milik pemerintah menetapkan bahwa nisab pendapatan bulanan minimal yang wajib zakat profesi adalah Rp 5.240.000, dengan presentase zakat sebesar 2.5 persen (Rp 131.000).
Ide zakat profesi ini pertama kali dicetuskan oleh Yusuf Qardhawi yang merupakan ulama terkemuka dari Mesir. Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh ratusan peneliti dalam berbagai aspek.
Hanifah Nur’aini dan M. Rasyid Ridla misalnya, dalam riset berjudul “Pengaruh Kualitas Pelayanan, Citra Lembaga, dan Religiusitas Terhadap Minat Muzakki untuk Menyalurkan Zakat Profesi (Studi di Pos Keadilan Peduli Ummat Yogyakarta)”, menemukan bahwa diantara tiga faktor yang diteliti, hanya faktor religiusitas saja yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat masyarakat untuk melakukan zakat profesi. Artinya, pembebanan zakat produktif ini kepada kelompok masyarakat yang tidak begitu agamis akan sulit dilakukan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/ketua-baznas-kalsel-h-gusti-pangeran-rusdi-effendi-saat-menyerahkan.jpg)