Kolom

Konfusius, Tradisi dan Demokrasi

Membaca karya Huston Smith, The Religions of Man, bab tentang Agama Konghucu penulis teringat tentang Guru Kebijaksanaan Tionghoa, Konfusius

|
Editor: Irfani Rahman
istimewa
Prof DR H Mujiburrahman MA 

Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

SABTU, 10 Februari 2024 lalu adalah Hari Raya Imlek. Rabu, 14 Februari 2024 depan adalah hari pemungutan suara Pemilu anggota legislatif dan presiden-wakil presiden. Apa kiranya yang dapat mempertautkan keduanya? Saya segera teringat dengan Sang Guru Kebijaksanaan Tionghoa, Konfusius (551-479 SM). Saya pun membaca ulang karya Huston Smith, The Religions of Man, bab tentang Agama Konghucu.

Diceritakan bahwa suatu hari Konfusius mendengar jeritan sedih seorang perempuan di tepi gunung yang sepi. “Mengapa Anda menangis?” tanya Konfusius. “Mertuaku yang laki-laki diterkam harimau di sini sampai mati. Demikian juga halnya dengan suamiku, dan sekarang putraku juga mengalami hal yang sama,” katanya.

“Lantas, mengapa Anda masih tinggal di tempat yang berbahaya ini?” tanya Konfusius heran. “Oleh karena di sini tidak ada penguasa yang menindas,” jawabnya. “Hai murid-muridku. Ingatlah ini: pemerintah yang menindas lebih kejam dari harimau!” kata Konfusius.

Menurut Smith, dalam menghadapi krisis sosial, ada dua strategi yang bertentangan, yang dianjurkan para pemikir Tionghoa. Pertama, kaum realis yang melihat manusia sebagai makhluk penuh nafsu, lebih-lebih dalam pertaruangan politik.

Karena itu, solusinya adalah membuat hukum yang rinci agar si pelanggar bisa dihukum berat, dan yang taat dan baik diberi penghargaan. Kedua, pandangan Mohisme yang menekankan cinta kasih. Alam semesta ini ada karena cinta kasih Sang Pencipta dan sesama makhluk. Karena itu, dengan cintalah perdamain dan kesejahteraan dapat terwujud.

Dua strategi di atas, kata Smith, bukanlah pilihan yang diambil Konfusius. Kekerasan hukum tidak selalu membuat jera dan efektif. Begitu pula, mengandalkan cinta kasih semata adalah impian utopis. Konfusius setuju bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik sehingga strategi cinta kasih bisa berpengaruh.

Namun, strategi tersebut memerlukan persiapan dan struktur sosial yang menopangnya agar bisa terwujud. Selain itu keadaan yang berbeda menuntut strategi yang berbeda. Tidak ada strategi yang mutlak dan dapat berlaku universal.

Dalam upaya mencari solusi atas degradasi moral politik bangsanya, Konfusius akhirnya berusaha membangkitkan tradisi. Menurutnya, manusia lebih mudah tunduk pada tradisi yang diwariskan secara sadar atau tidak, dari generasi ke generasi.

Sebaliknya, membiarkan manusia mencari sendiri pegangan hidup dengan mengandalkan nalar rasional semata justru melahirkan kegalauan moral dan kehilangan arah hidup. Karena itu, apa yang baik dan terbaik, yang pernah ada dalam masyarakat kita, harus diajarkan, ditanamkan dan dipraktikkan sebagai dasar bagi moralitas publik.

Apakah ini berarti Konfusius mengajak orang untuk memuja dan lalu terpenjara dalam tradisi? Smith menilai, jika diteliti lebih dalam, sebenarnya Konfusius seringkali justru melakukan reorientasi dan revitalisasi tradisi. Karena itu, baginya tradisi bukanlah sesuatu yang dominan dan diterima oleh semua orang. Sebagai ilustrasi, muridnya bertanya, “Bagaimana pendapat tuan tentang orang yang disukai oleh seluruh penduduk kota?” “Itu tidak memadai. Yang lebih baik adalah bahwa dia disenangi oleh mereka yang baik dan dibenci oleh mereka yang jahat,” tegasnya.

Konfusius juga mengingatkan, dalam tradisi Tionghoa ada tiga unsur utama dalam pemerintahan yaitu kemakmuran ekonomi, kekuatan militer dan kepercayaan rakyat. Dari tiga unsur ini, kepercayaan rakyat adalah yang terpenting.

Jika rakyat tidak percaya pada pemerintah, pemerintah itu tidak akan bertahan lama. Kepercayaan itu tumbuh ketika masyarakat merasa bahwa “para pemimpin mereka adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan, mengabdi secara jujur kepada kepentingan bersama, dan memiliki watak yang mendorong timbulnya penghormatan.”

Karena itu, pemimpin ideal adalah orang yang tidak memiliki ambisi pribadi. “Hanya mereka yang layak untuk memerintah, yang menghindar dari hasrat memerintah itu,” katanya. Karena itu pula, seorang pemimpin haruslah sosok yang dapat menjadi teladan moral bagi orang-orang yang dipimpinnya. Jika dia seorang yang licik dan berwatak buruk, maka akan sulit terwujud ketertiban di masyarakat. “Kebaikan yang tertanam dalam masyarakat bukan melalui kekuatan fisik dan bukan pula melalui aparat hukum, melainkan melalui kesan akan kepribadian yang luhur.”

Demikianlah cuplikan-cuplikan singkat pemikiran Konfusius. Ketika banyak pihak kini menggugat demokrasi kita, patut kiranya kita bertanya, adakah tradisi yang telah membentuk moralitas publik kita, yang sudah kita pertahankan dan kembangkan? Apakah tradisi itu sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, yang merupakan ‘tradisi’ Barat modern? Kita harus menjawab semua pertanyaan ini jika kita ingin demokrasi benar-benar berakar secara ‘otentik’ di masyarakat kita!

Selamat Imlek! Selamat pemilu! (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved