Breaking News

Opini Publik

Puasa sebagai Proses Humanisasi

UMAT muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, saat ini sedang bergairah menjalani ibadah di bulan suci Ramadan.

Editor: Hari Widodo
ISTIMEWA
Satrio Wahono Magister Filsafat UI 

Oleh: Satrio Wahono Magister Filsafat UI

BANJARMASINPOST.CO.ID - UMAT muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, saat ini sedang bergairah menjalani ibadah di bulan suci Ramadan. Terlihat di mana-mana betapa umat begitu bersemangat mengerjakan beragam ibadah mulai dari berpuasa itu sendiri, salat tarawih berjemaah, membaca kitab suci Al- Qu’ran hingga berzakat.

Memang, Ramadan adalah momentum emas bagi umat Islam untuk meraih pahala besar demi keselamatan di akhirat nanti.

Namun jika kita renungkan, manfaat puasa sejatinya melampaui sekadar dimensi ukhrawi-spiritual. Sebab, puasa memiliki kekuatan untuk mensucikan kehidupan manusia dari faktor-faktor yang telah membuatnya terdehumanisasi atau kehilangan harkat kemanusiaannya, terutama di era modern ini.

Lihat saja, era di mana perkembangan teknologi demikian pesat dan harusnya membuat kualitas kehidupan manusia kian baik, yang terjadi justru sebaliknya.

Permasalahan-permasalahan besar tetap merundung dunia dan manusia, seperti kesenjangan global yang kian lebar, kemiskinan, peperangan, perdagangan manusia, krisis energi, perubahan iklim, dan lain sebagainya.

Alih-alih lebih baik, kehidupan manusia kian terjerumus ke dalam perasaan keterasingan (alienasi), kehampaan makna, dan ketidakberdayaan.

Ini sebenarnya paradoks dari perkembangan teknologi digital. Bukannya mempererat hubungan sosial, teknologi digital justru kian menebalkan dinding individualisme.  Sebab, hubungan antarmanusia seringkali terjadi secara anonim atau tidak melibatkan interaksi tatap muka. Sehingga, merujuk filsuf Emmanuel Levinas (K Bertens, Fenomenologi Eksistensial, 1986), manusia tidak lagi memandang manusia lain sebagai Wajah yang meniscayakan dirinya tunduk pada pihak liyan. Melainkan, hanya sebagai objek yang tidak perlu disikapi dengan perilaku etis. Manusia kehilangan harkatnya dari subjek menjadi sekadar objek,

Kondisi ini juga yang disebut filsuf Gabriel Marcel (K. Bertens, Sejarah Filsafat Prancis, Gramedia, 2014) sebagai relasi Aku – Ia. Dalam relasi ini, manusia memandang orang lain semata dari aspek fungsionalnya. Alhasil, orang lain hanya dinilai berdasarkan “kegunaan” yang bisa dihasilkan untuk Sang Aku. Jika si Ia tidak berguna, maka Ia akan dianggap hina oleh Aku. Sementara jika Ia berguna, pun Aku hanya menganggapnya sebagai “barang” yang harkatnya tidak lagi ada ketika manfaatnya sudah terperas habis. Ini berbeda dari relasi ideal Aku – Engkau di mana dua insan memperlakukan satu sama lain sebagai subjek yang setara, tidak ada yang satu berniat mengeksploitasi atau merendahkan yang lain.

Penjara Ego

Dengan kata lain, relasi antarmanusia saat ini hanya mengedepankan ego pribadi tanpa adanya rasa empati kepada manusia lain mengingat manusia lain itu sekadar objek yang tidak memiliki kedudukan setara.

Lahirlah kemudian perilaku batil manusia terhadap sesama seperti menganiaya, mengeksploitasi, menipu, menindas, memerkosa, membunuh, dan lain sebagainya.

Alih-alih menjadi homo socius (makhluk sosial), manusia melangkah mundur ke kondisi homo homini lupus (manusia adalah pemangsa bagi sesamanya) seperti yang dibayangkan filsuf Thomas Hobbes dalam buku Leviathan (lihat B. Herry Priyono, Filsafat Politik, Penerbit Kompas, 2021).

Pada simpul inilah, puasa Ramadan mengajak para pelakunya mengembangkan empati, utamanya terhadap mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.

Dengan empati, orang yang berpuasa bisa merasakan penderitaan kaum tak punya. Pada gilirannya, empati ini membebaskan manusia dari penjara paling berbahaya bagi manusia, yaitu ego individualistik.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 

Politik Bansos

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved