Opini Publik
Puasa sebagai Proses Humanisasi
UMAT muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, saat ini sedang bergairah menjalani ibadah di bulan suci Ramadan.
Menurut sosiolog Iran Ali Syariati dalam Tugas Cendekiawan Muslim (Srigunting, 1992), penjara ego membuat orang hanya mengedepankan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan orang lain.
Dalam pemikiran ekonomi, misalnya, kita menyebut penjara ego ini sebagai penjara yang mengutamakan konsep manusia sebagai homo economicus, di mana hubungan antarpribadi dan sosial dipandang semata dengan tolok-ukur ekonomi dan untung rugi (B. Herry Priyono, Memburu Manusia Ekonomi, Penerbit Kompas, 2022).
Akibatnya, manusia mengadopsi etika pragmatisme yang rela menghalalkan segala cara demi meraih kenikmatan duniawi. Terampaslah manusia dari harkat kemanusiaannya karena telah tereduksi menjadi sekadar materi (dehumanisasi) dan jauh dari panduan moralitas.
Mereka hanya sibuk mengejar materi dunia dan segala simbol yang menyertainya tanpa peduli dengan nasib sesama, bahkan tega menginjak-nginjaknya sebagai objek semata.
Jika manusia sudah terbebas dari penjara egonya dan meluaskan kontribusinya kepada sesama warga dalam suatu negara, terciptalah suatu tatanan yang akan menjamin kemakmuran dan kesejahteran yang merata.
Maka itu, di bulan Ramadan umat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah dan zakat mal (harta) supaya orang yang berada pada strata sosial lebih bawah dapat terangkat derajat ekonomi maupun sosialnya.
Bahkan, menurut Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam (Mizan, 1997), zakat adalah mekanisme efektif Islam untuk mengikis kesenjangan struktural ekonomi.
Zakat sebagai hak orang miskin memungkinkan terjadinya redistribusi aset secara optimal kepada orang tak mampu, sehingga mereka dapat bebas dari jerat kemiskinan dan kembali memiliki martabat.
Artinya, puasa dan zakat mampu melakukan humanisasi manusia. Kedua ibadah ini mengembalikan fitrah manusia sebagai makhluk yang punya karsa individu tapi dengan tanggung jawab etis untuk memajukan kepentingan kolektif secara luas.
Dengan kata lain, spirit Ramadan mengajari manusia untuk menjadi suci kembali di hari raya Idul Fitri nanti karena mereka telah berhasil memulihkan harkat kemanusiaannya demi menunaikan mandat sebagai khalifah yang mewujudkan kebaikan di alam semesta ini. Semoga! (*)
| Refleksi Hari Santri Nasional, Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman |
|
|---|
| Hari Kebudayaan Nasional dan Urgensi Penguatan Budaya Digital |
|
|---|
| Menilik Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah |
|
|---|
| Dilematik Pengembalian 30.000 Artefak Indonesia dari Belanda |
|
|---|
| September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.