Kolom

Kisah Partai Kakbah

Ternyata raja dangdut Rhoma Irama pernah datang di Amuntai untuk kampanye pada 1982 lalu dan berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Editor: Irfani Rahman
istimewa
Prof DR H Mujiburrahman MA 

Mujiburrahman
Rektor UIN Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- SAAT itu, Pemilu 1982. Aku masih kecil, kelas 4 Sekolah Dasar. Aku dan keluarga tinggal di Desa Sungai Karias, sekitar satu kilometer dari Pasar Amuntai. Hari itu tersebar kabar bahwa raja dangdut, Rhoma Irama, akan datang berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Aku dan teman-teman pergi berjalan kaki ke kota, ingin menyaksikan Rhoma. Sesampai di kota, tepatnya di depan Hotel Rita, manusia sudah membludak. Mereka memakai atribut PPP dan jaket hijau yang memukau.

Lama kami menunggu Rhoma, tapi tak muncul-muncul juga. Kabarnya, dia telah mendapat banyak tekanan saat berkampanye di Banjarmasin. Bahkan beredar isu, ada pihak yang melepas ‘racun’ di udara saat Rhoma pidato, sehingga beberapa orang pingsan.

Namun, Rhoma selamat. Bagaimana sikap Rhoma di Amuntai? Dengan hati deg-degan, kami akhirnya melihat Rhoma keluar dari hotel, dan berdiri di depan kami. Sambil menatap jauh, dia berteriak, “Hidup Ka’bah, Hidup Ka’bah, Hidup Ka’bah!” yang diikuti suara massa menggema. Tidak ada pidato. Rhoma balik meninggalkan kami!

Waktu itu, PPP merupakan partai Islam, dan kekuatan oposisi terhadap pemerintah Orde Baru yang dikuasai Golongan Karya (Golkar). Didirikan pada 1973, PPP adalah penggabungan partai-partai Islam di masa Soekarno, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Nama PPP tampaknya berasal dari pemerintah.

Ideologi Orde Baru terlihat di nama itu, yaitu persatuan dan pembangunan. Persatuan bermakna stabilitas politik, dan pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi.

Jelas tidak mudah bagi Soeharto untuk menggantikan Soekarno yang sangat berpengaruh dan mempunyai banyak pengikut. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Soekarno sering menekankan ungkapan ‘Revolusi belum selesai’.

Pada saat itu pula, pertarungan ideologi politik masih kuat, baik di tingkat nasional ataupun internasional. Soekarno mencoba menggabung semuanya dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Akibatnya, politik sering gonjang-ganjing, sementara ekonomi makin buruk. Pada 1963-1965, banyak rakyat kelaparan bahkan hingga mati!

Karena itu, Soeharto maju dengan janji baru: perbaikan ekonomi. Dari sinilah muncul gagasan tentang pembangunan, yakni usaha-usaha memodernisasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan ekonomi kapitalistik.

Sudah maklum, pembangunan takkan dapat berjalan tanpa stabilitas politik. Jika partai-partai terus berantem, apalagi sampai ada pemberontakan, maka energi habis untuk konflik saja. Karena itu, diperlukan persatuan dan kesatuan. Satu ideologi, satu komando. Partai pemerintah, Golkar, harus dominan. Dua partai lain, PPP dan PDI, hanya pelengkap saja.

Namun, rupanya tokoh-tokoh partai Islam itu tidak kehilangan akal. Mereka masih berupaya agar simbol Islam tidak lepas dari partai yang namanya tidak menunjukkan identitas keislaman itu. Mereka memutuskan untuk menggunakan Kakbah, sebagai simbol pemersatu umat Islam.

Kakbah adalah kiblat, arah salat bagi umat Islam di seluruh dunia, apapun alirannya. Simbol Kakbah ini tidak diputuskan secara biasa, tetapi melalui salat istikharah, salat memohon diberikan pilihan terbaik kepada Allah. Yang melakukannya pun bukan orang biasa, tetapi Kiai Bisri Syansuri, Rais Am NU.

Sejak mula-mula, pemerintah Orde Baru keberatan dengan lambang Kakbah itu. Lobi demi lobi dilakukan berulang kali oleh Ketua Lembaga Pemilihan Umum, Sekjen Kementerian Agama hingga Presiden Soeharto sendiri. Namun, Kiai Bisri Syansuri tetap teguh dengan pendiriannya.

Akhirnya, Kakbah memang menjadi lambang PPP. Namun, pemerintah Orde Baru terus berusaha mengubah lambang itu hingga berhasil menggantinya dengan lambang bintang pada Pemilu 1987. Setelah Orde Baru jatuh pada 1998, PPP kembali menggunakan lambang Kakbah hingga sekarang.

Di sisi lain, jika di masa Orde Baru PPP merupakan satu-satunya partai Islam, maka di masa Reformasi muncul partai-partai Islam baru. Yang saya maksud dengan partai Islam di sini adalah yang didirikan oleh kaum Muslim santri.

Di masa Reformasi, Abdurrahman Wahid sebagai tokoh NU mendirikan PKB. Amien Rais dari Muhammadiyah mendirikan PAN. Yusril Ihza Mahendra dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mendirikan PBB. Para aktivis Islam kampus dan Usroh mendirikan Partai Keadilan, lalu menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Jadi, sekarang orang punya banyak pilihan.

Dalam hiruk-pikuk politik era Reformasi itu, PPP masih bisa bertahan sampai dua dasawarsa lebih, hingga akhirnya pada Pemilu 2024 gagal mencapai ambang batas untuk masuk ke Senayan. Bagi generasi tua, baik mantan atau pendukung setia, kegagalan PPP ini tentu mengecewakan. Rupanya, lambang Ka’bah tidak lagi semenarik dahulu. Para pemilih berubah.

Pola permainan berubah. Dunia politik memang sangat evolusionis-darwinistik. Hanya yang kuat dan mampu beradaptasi, yang dapat bertahan. Yang lemah, yang tak bisa beradaptasi, akan tersingkir bahkan punah.

Dulu, PPP kuat karena ideologi Islamnya, dan didukung oleh ormas-ormas Islam yang memiliki basis kuat di akar rumput. Kini, bukan hanya PPP, tetapi hampir semua partai tidak menunjukkan ideologi politik yang tegas, yang membedakannya dengan yang lain.

Ikatan ke akar rumput pun tidak kuat. Selain itu, citra partai di mata publik (bukan hanya PPP) juga banyak tercoreng akibat tindak korupsi. Biaya politik tinggi membawa kepada korupsi. Duit seringkali lebih kuat dari kepintaran dan kejujuran. Orang makin kehilangan rasa malu, dari para petinggi partai hingga rakyat jelata.

Boleh jadi, salah satu sebab PPP tersingkir adalah karena kalah ‘amunisi’ di lapangan. Namun, jika semua orang berpikir demikian, maka cepat atau lambat politik bangsa kita akan membusuk dan membuka pintu lebar-lebar bagi kediktatoran.

Sudah saatnya, semua partai politik berpikir jauh ke depan, membangun tiga hal: cita-cita utama yang menjadi arah partai, keterhubungan dengan rakyat di akar rumput, dan keteguhan dalam kejujuran dan integritas. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved