Tajuk
Transparansi Tabungan Perumahan Rakyat
KARYAWAN swasta siap-siap gaji dipotong 3 persen tiap bulan untuk membayar simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
KARYAWAN swasta siap-siap gaji dipotong 3 persen tiap bulan untuk membayar simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan ini telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Pemotongan gaji untuk Tapera itu bakal dilakukan mulai 2027.
Jika dilihat dalam pasal 15 PP Nomor 21 Tahun 2024, besaran simpanan peserta itu dibayar secara patungan. Sebesar 0,5 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja.
Pada tahap awal, target peserta Tapera PNS, kemudian TNI dan Polri. Lalu kepesertaan Tapera diperluas ke karyawan BUMN dan BUMD. Sementara bagi karyawan swasta atau formal diberi waktu selambat-lambatnya 7 tahun sejak BP Tapera beroperasi.
Pemerintah menjelaskan, Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu.
Baca juga: BREAKING NEWS: Hari Ini Warga Tebingsiring Tanahlaut Datangi PTP, Agenda Utama Tutup Jalan Kebun
Baca juga: Sebagian Pekerja Sudah Punya Rumah, Buruh Kalsel Minta Kejelasan Aturan Main Tapera ke Pemerintah
Tabungan ini hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera dikelola oleh badan hukum yang disebut Badan Pengelola Tapera atau disingkat BP Tapera.
Sistem Tapera mengusung penghimpunan dana masyarakat secara bersama dan saling tolong-menolong antar-peserta alias gotong royong.
Dana terkumpul ditujukan untuk menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta.
Kepesertaan Tapera berakhir apabila memenuhi syarat, seperti telah pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut.
Meskipun kebijakan ini bertujuan baik, namun tidak semua masyarakat sependapat. Terlebih bagi kalangan pekerja tidak tetap yang penghasilannya pun tidak menentu. Sementara kalangan pengusaha juga banyak yang mengeluh karena dipaksa menyisihkan lagi dana untuk tenaga kerjanya. Apalagi sebagian karyawan swasta sudah punya rumah sendiri.
Di sisi lain, usia pensiun di sejumlah perusahaan lebih cepat di kisaran 55 tahun. Artinya ada selisih 3 tahun sebelum kepesertaan berakhir dan sisa duit tabungan baru bisa diambil. Kondisi ini tentu bak buah simalakama bagi pekerja itu sendiri. Mereka dipaksa ikut, tapi di sisi lain mereka sulit mengambil kembali haknya meskipun tidak terpakai.
Agar masyarakat tetap percaya dan tenang, pemerintah perlu menjamin transparansi dari penghimpunan dan penggunaan dana tersebut. Harus betul-betul dipastikan tidak ada penyelewengan. Jangan sampai duit masyarakat malah menjadi bancakan oknum penguasa. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.