Opini Publik
Guruku Sayang, Guruku Malang
Zaman dulu, diri pribadi penulis, melihat seorang guru sebagai sosok yang paling disayang, dihormati, disegani, dihargai serta diidolakan
Sebagaimana pendapat Thomas Hoerr, “Jika ingin menyelamatkan bangsa ini, selamatkanlah lembaga pendidikan, perbaikilah karakter para pendidiknya.” ada dua hal yang perlu dicermati oleh para guru dalam melihat titik seru mengapa output pendidikan mengalami disorientasi. Pertama, melihat sistem lembaga pendidikan yang diterapkan dan kedua karena mutu dan kepribadian para pelaku pendidikan.
Sebagai seorang pelaku pendidikan di Indonesia, guru sebenarnya memiliki banyak panutan seperti Founding Fathers pendidikan sebelumnya yang harus dijadikan role model dengan melakukan modifikasi sesuai dengan zaman sebagai seorang pendidik dalam menerapkan dan memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Ada Ki Hajar Dewantara dengan gagasan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. HOS Cokroaminoto tentang pendidikan kebangsaan. KH. Ahmad Dahlan yang juga merupakan seorang penggagas pembaruan dan spirit kemajuan pendidikan modern. Serta, KH. Hasyim Asyari yang memiliki gagasan pendidikan dengan berciri khas pesantren dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, guru terlebih dahulu harus bisa mencerminkan nilai-nilai kesadaran moral yang tertanam hati dan pikiran serta mampu mengimplementasikannya dalam pembelajaran, lebih-lebih, bisa menciptakan habituasi kepada siswa, bukan sebaliknya.
Sebagai seorang pendidik guru harus mampu mengaplikasikan serta membuat habituasi siswa dengan role model karakter yang ideal sesuai dengan falsafah pendidikan sebagai pedoman dalam menciptakan atmosfer yang edukatif.
Kesimpulannya, guru harus memegang teguh falsafah pendidikan dengan memiliki kesadaran akan tugas hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan yang baik. Bukan melanggar kode etik hingga mencederai harkat dan martabat sebagai seseorang yang dianggap pahlawan tanpa tanda jasa.
Guru yang mampu berpegang erat dan mengimplementasikan falsafah pendidikan. Harus mampu memberikan kesempatan selebar-lebarnya untuk memilih pola pendidikan dan kedepan bisa menjadi manusia terbaik, merdeka, menjadi role model serta mencetak generasi anak bangsa yang cerdas intelektual, sosial, emosional dan spiritual. Jadi, pilihan ada pada diri guru pribadi ingin menjadi guru yang disayang atau yang bernasib malang? It depends on us. (*)
| Refleksi Hari Santri Nasional, Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman |   | 
|---|
| Hari Kebudayaan Nasional dan Urgensi Penguatan Budaya Digital |   | 
|---|
| Menilik Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah |   | 
|---|
| Dilematik Pengembalian 30.000 Artefak Indonesia dari Belanda |   | 
|---|
| September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi |   | 
|---|


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.