Opini Publik

Guruku Sayang, Guruku Malang

Zaman dulu, diri pribadi penulis, melihat seorang guru sebagai sosok yang paling disayang, dihormati, disegani, dihargai serta diidolakan

Editor: Hari Widodo
istimewa
Edwin Yulisar, Guru MTsN 2 Hulu Sungai Tengah (HST). 

Oleh: Edwin Yulisar Guru MTsN 2 Hulu Sungai Tengah

BANJARMASINPOST.CO.ID - DIGUGU dan ditiru adalah slogan repetitif yang terdengar diucapkan oleh sejumlah orang ketika membicarakan guru atau tenaga pendidik yang ada di sekolah maupun madrasah.

Zaman dulu, diri pribadi penulis, melihat seorang guru sebagai sosok yang paling disayang, dihormati, disegani, dihargai serta diidolakan sebagai seorang manusia yang paling berjasa dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan cerminan sifat terpuji.

Penulis pun dulu, ketika menjadi siswa, merasa segan ketika berpapasan dengan guru di jalan sehingga harus mendahulukan guru tersebut sembari menunduk hormat. Namun, apa yang terjadi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini memiliki efek kejut yang bisa membuat dada kembang kempis.

Terpantau beberapa berita berseliweran di jagat maya ataupun media sosial mengenai oknum guru-guru zaman sekarang. Beberapa dari mereka tersandung masalah hingga akhirnya berurusan dengan hukum.

Guru yang memiliki rencana dan tujuan konstitusional untuk mencerdaskan anak bangsa justru belum siap dan belum mampu untuk mencerdaskan dirinya sendiri secara emosional, sosial dan spiritual. Beberapa di antara guru harus berhadapan dengan hukum baik itu kekerasan verbal maupun non-verbal, asusila ataupun masalah lainnya.

Beberapa guru melakukan kekerasan fisik ketika memberikan hukuman kepada siswa padahal hal tersebut sangat tidak sesuai dengan aspek pendidikan yang sebenarnya. Kekerasan fisik pada siswa yang dilakukan oleh guru memang menyakitkan namun ada yang lebih menyakitkan.

Ya, itulah kekerasan non-fisik atau verbal abuse. Kekerasan bentuk ini berdampak lebih besar dan berkelanjutan terhadap perkembangan kepercayaan diri anak. Hal ini harus menjadi konsentrasi serius dari para guru dalam berucap baik itu menasihati, memberi sanksi ataupun menghukum siswanya dengan bentuk verbal agar nantinya jangan sampai menyakiti hati mereka.

Penelitian Joseph terhadap 331 responden di Inggris menemukan bahwa 40 persen orang mengaku pernah mendapat kekerasan. Sepertiga diantaranya mengaku stres setelah mendapat kekerasan tersebut.

Studi ini menunjukkan bahwa kekerasan dari anak atau remaja yang lebih tua, lebih kuat, lebih berani dan lebih-lebih lainnya bisa menurunkan martabat remaja.

Khususnya gangguan yang berbentuk verbal abuse misalnya dengan nama panggilan yang mengandung arti negatif.

Guru yang melakukan verbal abuse akan menyebabkan gejala yang tidak spesifik pada siswa hingga akhirnya menjadi siswa atau generasi yang lemah seperti agresif, apatis, pemarah, menarik diri, kecemasan berat, gangguan tidur, ketakutan yang berlebihan, kehilangan harga diri dan depresi. Bahkan dampak terberatnya dari kekerasan ini akan memperpanjang lingkungan kekerasan tersebut.

Anak yang mengalami tindakan kekerasan selanjutnya akan cenderung menjadi pelaku tindakan kekerasan terhadap orang lain. Maka dari itu, yang sangat ditakutkan adalah fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya. Hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan.

Jadi cara mendidik siswa tergantung pada guru yang mampu menghindari sejauh-jauhnya perilaku ini karena dampak buruknya boleh jadi 20-30 tahun ke depan, bahkan mengakibatkan kekacauan atau degradasi moral.

Jika masih banyak oknum guru yang melanggar kode etik dan aturan yang sudah berlaku maka mungkin dianggap belum mampu mengemban tugas dan tujuan pendidikan nasional dengan baik yang sudah tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, untuk bisa mengembangkan kemampuan, membentuk pribadi yang bisa bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Kreatif dan bisa memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagaimana pendapat Thomas Hoerr, “Jika ingin menyelamatkan bangsa ini, selamatkanlah lembaga pendidikan, perbaikilah karakter para pendidiknya.” ada dua hal yang perlu dicermati oleh para guru dalam melihat titik seru mengapa output pendidikan mengalami disorientasi. Pertama, melihat sistem lembaga pendidikan yang diterapkan dan kedua karena mutu dan kepribadian para pelaku pendidikan.

Sebagai seorang pelaku pendidikan di Indonesia, guru sebenarnya memiliki banyak panutan seperti Founding Fathers pendidikan sebelumnya yang harus dijadikan role model dengan melakukan modifikasi sesuai dengan zaman sebagai seorang pendidik dalam menerapkan dan memperbaiki pendidikan di Indonesia.

Ada Ki Hajar Dewantara dengan gagasan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. HOS Cokroaminoto tentang pendidikan kebangsaan. KH. Ahmad Dahlan yang juga merupakan seorang penggagas pembaruan dan spirit kemajuan pendidikan modern. Serta, KH. Hasyim Asyari yang memiliki gagasan pendidikan dengan berciri khas pesantren dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, guru terlebih dahulu harus bisa mencerminkan nilai-nilai kesadaran moral yang tertanam hati dan pikiran serta mampu mengimplementasikannya dalam pembelajaran, lebih-lebih, bisa menciptakan habituasi kepada siswa, bukan sebaliknya.

Sebagai seorang pendidik guru harus mampu mengaplikasikan serta membuat habituasi siswa dengan role model karakter yang ideal sesuai dengan falsafah pendidikan sebagai pedoman dalam menciptakan atmosfer yang edukatif.

Kesimpulannya, guru harus memegang teguh falsafah pendidikan dengan memiliki kesadaran akan tugas hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan yang baik. Bukan melanggar kode etik hingga mencederai harkat dan martabat sebagai seseorang yang dianggap pahlawan tanpa tanda jasa.

Guru yang mampu berpegang erat dan mengimplementasikan falsafah pendidikan. Harus mampu memberikan kesempatan selebar-lebarnya untuk memilih pola pendidikan dan kedepan bisa menjadi manusia terbaik, merdeka, menjadi role model serta mencetak generasi anak bangsa yang cerdas intelektual, sosial, emosional dan spiritual. Jadi, pilihan ada pada diri guru pribadi ingin menjadi guru yang disayang atau yang bernasib malang? It depends on us. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved