Opini
Pidana bagi Tersangka Pascamelahirkan, Kajian Kasus Istri Bakar Suami
BEBERAPA headline berita nasional saat ini tengah menyoroti kasus oknum Polwan Briptu (FN) yang membakar suaminya sendiri hingga meninggal.
Selama ini kita mengira bahwa kejiwaan hanya terbatas pada gangguan jiwa berat misalnya schizophrenia, namun ternyata depresi yang dialami ibu pascamelahirkan juga tergolong dalam gangguan kejiwaan, dengan catatan bahwa telah dilakukan diagnosis oleh tenaga medis profesional.
Dalam ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapusan pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf. Alasan pemaaf akan diberikan jika pelaku suatu tindak pidana tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya lantaran pelaku tidak waras. Lebih jelas dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menjelaskan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP pun menjelaskan bahwa yang dimaksud disabilitas mental dan intelektual didalamnya termasuk orang dengan gangguan depresi.
Menjawab pertanyaan sebelumnya, jika saat ini Briptu FN ditangguhkan penahananya dikarenakan sedang melaksanakan tanggungjawabnya memberikan ASI kepada ketiga anaknya, lantas apakah bisa Briptu FN lepas dari jeratan pidana? Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP diatas, jika ternyata pelaku tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf dimana pelaku tidak dapat dipidana.
Namun, juga berlaku Pasal 44 ayat (2) yang berbunyi bahwa jika tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pada akhirnya hakim lah yang memiliki kuasa penuh dalam memutuskan dapat tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa dalam proses penentuan tersebut, hakim perlu meminta nasehat dari tenaga medis profesional yang ahli dibidangnya, kaitanya dengan kasus ini adalah dokter kejiwaan.
Pembuktian berupa diagnosis dari tenaga medis profesional inilah yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memberikan amar putusan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.