Berita Banjarmasin

Maraknya Fenomena Gangster di Kalsel, Psikolog Uniska Banjarmasin: Kurang Pengawasan Orangtua

Fenomena gangster di Kalsel kalau dilihat dari perspektif psikologis memiliki banyak aspek. Remaja yang menuju dewasa berusaha mencari identitas.

Penulis: Rifki Soelaiman | Editor: Edi Nugroho
Foto ist Polsek Liang Anggang untuk Bpost
Anggota gangster di Banjarbaru saat diamankan Polisi di Polsek Liang Anggang 

BANJARMASINPOST.CO.ID-Fenomena gangster di Kalsel kalau dilihat dari perspektif psikologis memiliki banyak aspek. Remaja yang menuju dewasa berusaha mencari identitas.

Namun banyak remaja yang salah dalam melakukannya. Di antaranya bergabung dengan gang yang menuju superioritas.

Penyebabnya bisa jadi karena pengaruh sosial atau tekanan dari lingkungan. Misalnya ada kata-kata kalau tidak ikut gang motor tidak keren. Akhirnya banyak remaja yang mudah terpengaruh.

Kemudian, ada kemungkinan para remaja ini mengalami permasalahan di masa kecil. Misalnya memiliki pengalaman traumatis, seperti diabaikan bahkan dilecehkan. Pengalaman seperti itu membuat mereka mencari perhatian lebih di lingkungan.

Baca juga: Kedapatan Bawa Sajam di Jalan, Sebelas Anak di Bawah Umur Diringkus Polresta Banjarmasin

Baca juga: Peluncuran Pilkada Tapin 2024 Hari Ini, KPU Ajak Masyarakat Bisa Hadir dan Saksikan

Kemudian kebutuhan ekonomi juga menjadi pengaruh. Meski awalnya sama-sama hobi, di dalam berkelompok itu ada yang namanya dinamika, norma dan budaya yang diterapkan. Misalnya ada beberapa orang yang ingin penciriannya beda dengan yang lain. Ada keunikan tertentu. Intinya mencirikan identitas kelompok mereka.

Fenomena ini tak bisa dibebankan ke salah satu pihak saja. Ini adalah interaksi sosial, psikologis, lingkungan, individu dengan kelompok, sehingga ini saling terkait.

Dalam hal ini, keluarga berperan penting. Bisa jadi si anak ini mengalami pengabaian atau kurang pengawasan oleh keluarganya.

Sistem pendidikan pun memiliki porsi. Meski anak yang ikut geng motor ada putus sekolah, tapi ada juga yang masih sekolah. Sekolah harus memberikan program yang mengedukasi atau mengantisipasi, sehingga tidak mengintervensi langsung atau memberikan hukuman terhadap individu yang salah.

Harus ada yang namanya edukasi psikologi, untuk mengantisipasi anak-anak ini mengikuti lingkungan yang salah.

Kalau bicara aparat, paling bisa yang dilakukan adalah pencegahan. Apalagi ini kasus anak di bawah umur. Menanganinya dengan cara pencegahan melalui edukasi maupun penyuluhan.

Jangan lupa bekerja sama dengan komunitas yang menampung anak jalanan. Artinya stakeholder aparat harus diperluas, sehingga bisa bekerja sama dengan mengadakan edukasi tentang bahaya mengikuti komunitas yang salah. Angkatlah sesuatu yang lagi tren.

Juga harus berkolaborasi dengan para orangtua. Ada penguatan di situ, sehingga tidak bisa dipasrahkan ke aparat saja. Mungkin bisa dipanggil orangtuanya untuk diedukasi, dibimbing maupun diberi konseling.

Selain itu, sikap masyarakat tetap harus lurus. Dalam hal ini, jika sudah melanggar hukum harus disampaikan ke aparat.

Selain itu, fenomena ini bisa terjadi karena imbas teknologi. Yang namanya remaja, mereka ini mencari identitas, mereka juga belajar sosial teori. Mereka belajar bagaimana berprilaku meniru. Bisa jadi mereka meniru dari lingkungan atau dari media teknologi saat ini seperti gadget.

Remaja ini dekat dengan rasa ingin tahu yang besar, mereka selalu mencari rasa petualangan. Mungkin para remaja ini mencirikan arti kebebasan, seperti kebebasan berkreasi atau kebebasan memilih. (Banjarmasinpostpost.co.id/Riki Soelaman)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved