Berita HST

Menengok Kampung Perajin Sapu Ijuk di Panggung-Barikin HST, Bertahan dari Gempuran Produk Plastik

Desa Panggung, dan Barikin, di Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sudah tak asing lagi bagi wargam disini banyak perajin sapu ijuk

Penulis: Hanani | Editor: Irfani Rahman
Banjarmasinpost.co.id/hanani
SAPU IJUk- Pedagang sapu ijuk di Desa Panggung, Kecamatan Haruyan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Selasa (6/5/2025). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BARABAI - NAMA Desa Panggung, dan Barikin, di Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sudah tak asing lagi bagi warga. Letaknya di pinggir Jalan A Yani, perlintasan Kalsel-Kalteng-Kaltim. Berjarak sekitar 15 kilometer dari Barabai, ibukota Kabupaten.

Saat melintasi jalan nasional ini, ada pemandangan khas. Di kanan dan kiri pinggir jalan, berjejer aneka kerajinan. Salah satu khasnya adalah sapu ijuk. Hampir di semua halaman rumah warga yang berbatasan langsung dengan pinggir jalan raya itu memajang sapu ijuk. Tak hanya berupa sapu, tapi juga gulungan ijuk (dalam bahasa setempat disebut haduk) itu menghiasi pinggir jalan.

Ada pula yang masih berupa tali ijuk yang sudah dipintal. Digantung di kios depan rumah untuk dijual. Desa Panggung hingga Simpang Barikin, terkenal sebagai kampung perajin ijuk. Menurut Samsul Bianti (68), sejak tahun 1988 hampir semua keluarga di kampung yang dikenal kampung seni itu. Dia adalah salah satu perintisnya.

Awalnya, Samsul dan lima warga lainnya, diikutkan pelatihan mengolah bahan ijuk oleh Pemkab HST ke Bali selama 2 minggu pada tahun 1980-an. Begitu pulang dari pelatihan, langsung dipraktikkan. Hasil karyanya dipajang di kios sederhana di pinggir jalan. “Tak disangka banyak yang membeli. Khususnya pengendara yang melakukan perjalanan dari Hulu Sungai-Banjarmasin atau sebaliknya,” kata Samsul.

Baca juga: Dua Rumah di Muntiraya HST Ludes Terbakar, Asal Api di Rumah Kosong

Baca juga: Pesankan Tiket Jumran untuk Temui Jurnalis Juwita di Banjarbaru, Oknum TNI AL Balikpapan Ditahan

Bahkan bus dari Kaltim, Kateng-Banjarmasin, kata dia juga sering menyinggahkan penumpangnya, untuk membeli oleh-oleh. Baik sapu ijuk, maupun mainan kuda gepang, dan mainan mobil kayu buatan tangan perajin setempat. Melihat antusias pembeli itu, waga lainnya belajar membuat sapu ijuk. Akhirnya hampir semua waerga setempat memiliki usaha tersebut.

Produk sapu ijuk Desa Panggung dan Barikin, mengalami masa kejayaan, pada tahun 1990-an. Semasa itu belum banyak produk sapu berbahan  plastik, seperti sekarang yang mendominasi pasar.

Barulah beberapa tahun kemudian, di atas tahun 2000-an, popularitas sapu ijuk menurun, seiring beralihnya sebagian masyarakat menggunakan bahan serba buatan pabrik modern.

Saat itu terjadi penurunan produksi 25 persen, sampai akhirnya sekarang sekitar 50 persen.

Menurut Samsul, untuk perajinnya sampai sekarang  lebih 50 perajin masih bertahan. Diselingi dengan produk barang seni, seperti kuda gepang dan mainan mobil dan kuda-kudaan kayu buatan tangan.

Bahkan, perajin juga menjadi reseller produk dari daerah lain. Seperti kerajinan gerabah, kerajinan logam, anyaman purun dari HSS dan HSU.

Meski terus digempur sapu modern, Samsul tetap bertahan dengan usaha sapu ijuknya. Tiap minggu, dia masih memproduksi 200 pcs sapu, dengan mempekerjakan  7 orang warga setempat. Sapu dijual ke Pasar Kerajinan di Amuntai.

Satu Pcs seharga Rp 12.500. Tiap Kamis pagi diangkut sendiri menggunakan mobil pikap. “Di sana sudah ada calon pembeli dari Palangkaraya dan Samarinda. Biasanya Rabu mereka sudah mengorder lewat telepon,” tuturnya.

Menurutnya, dari sisi daya tahan, sapu ijuk lebih tahan lama.

Dibuat secara manual dengan menggunakan tangkai kayu lurus dan anyaman dari tali ijuk sendiri, secara kualitas lebih unggul ketimbang sapu terbuat dari bahan plasti dan nilon. Itu sebabnya, masyarakat, khususnya kalangan pedesaan, masih memilih produk berbahan ijuk dari pohon aren itu.

Soal keunggulan sapu ijuk, juga dikatakan, Murniati yang sudah puluhan tahun menjadi perajin. Dia bahkan membuat dan menjual kualitas premium dengan harga RP 50 ribu dan Rp 25 ribu per sapu. “Soal daya tahan, boleh diadu dengan sapu plastik zaman sekarang, yang tangkainya gampang patah dan bagian sapunya mudah keriting,” katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved