Kolom

Citra Jangan Dusta

Editor: Irfani Rahman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mujiburrahman Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

Mujiburrahman

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - “MAAF ya. Bukannya saya lookdown pada Anda. Kok jarang kelihatan,” kata seorang pejabat kepada saya. “Saya sebenarnya sering hadir Pak, tapi duduk di belakang,” jawabku sekenanya. Sebenarnya saya paham maksud beliau.

Saya hampir tak pernah menyebarkan berita perihal kegiatan-kegiatan dan prestasi UIN Antasari di grup WhatsApp kami. Di sisi lain, beliau mungkin terlalu sibuk, tak sempat menengok akun-akun media sosial dan website kami yang rutin merilis berita.

Begitulah keadaan zaman sekarang. Jika kita tidak muncul di media sosial dengan berita tentang kerja-kerja kita, maka orang gampang menganggap bahwa kita tidak bekerja apa-apa. Berpikir tentang apa tantangan yang tengah dan akan dihadapi, apa langkah-langkah inovatif yang akan diambil, hingga upaya-upaya mewujudkannya dalam kenyataan, tidak akan dianggap kerja jika tidak ada tampilannya di media sosial.

Padahal, tampilan di media sosial itu biasanya sangat singkat, reduktif, dan simplistik. Di situ yang diutamakan adalah kekuatan kesan, bukan kedalaman pesan.

Ada lagi yang sebaliknya. Dia selalu tampil di media sosial dengan rekaman berbagai kegiatan yang dilakukannya hampir setiap hari. Padahal, kegiatan-kegiatan itu lebih banyak bersifat seremonial yang isinya sekadar pidato, tepuk tangan, berbalas pantun, lalu makan-minum.

Bahkan tak jarang, konten media sosialnya itu diisi dengan berbagai rekaman kegiatan yang bersifat pribadi, yang tak ada hubungan dengan pekerjaan utamanya. Anehnya, si tokoh merasa sudah benar-benar bekerja. Apalagi jika banyak warganet yang suka dan berkomentar di akun media sosialnya itu.

Mengingat hampir setiap orang memiliki akun media sosial, maka jumlah pesannya amatlah banyak sehingga terjadilah kompetisi, persaingan memperebutan perhatian. Perhatian menjadi barang langka yang semakin berharga, baik secara psikologis maupun ekonomis.

Orang semakin merasa melambung kepercayaan dirinya ketika pesan di media sosialnya viral dan mendapat tanggapan positif dari banyak warganet. Jumlah perhatian yang tinggi dari warganet juga bernilai ekonomis, yang jika sampai pada jumlah tertentu bisa mendatangkan penghasilan yang lumayan.

Bagi seorang artis dan politisi, citra publik di media sosial itu tentu penting. Artis perlu penggemar, dan politisi perlu pemilih. Penggemar dan pemilih adalah publik yang harus diambil hatinya dan dipengaruhi.

Adapun birokrat yang diangkat oleh atasannya, maka dia akan berusaha agar atasannya terkesan sehingga kursinya aman atau naik jabatan. Karena itu, dia akan berusaha menyampaikan berita-berita kerjanya di media sosial, bukan terutama ke publik, tetapi ke atasannya, seperti di grup WhatsApp di mana atasannya masuk. Di situ, dia juga suka menjilat, memuja-muji sang atasan.

Masalahnya adalah, citra media bukanlah kenyataan sebagaimana adanya. Seringkali, citra media itu laksana pepatah “cantik kabar daripada rupa”. Kata orang Arab, laysal khabaru kal-‘iyâni (kabar itu tak sama dengan melihat dengan mata kepala sendiri).

Citra adalah bayangan dari kenyataan, yang dapat dipoles sedemikian rupa melalui rekayasa foto, video, narasi, sudut pandang, fokus, dan suara. Kita bisa tertipu dengan citra. Karena di zaman sekarang orang berebut perhatian, maka banyak orang tergoda menampilkan citra-citra yang mengesankan meskipun palsu dan menipu.

Di sisi lain, kita tak bisa lepas sepenuhnya dari citra, tampilan luar diri kita, di depan publik. Menurut adat-istiadat, kita tak boleh tampil bugil, telanjang bulat, di depan publik. Kita perlu pakaian penutup aurat.

Halaman
12

Berita Terkini