Kolom

Negara Predator: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Editor: Irfani Rahman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Budi Kristanto, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat

Budi Kristanto

Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat

BANJARMASINPOST.CO.ID - DELAPAN puluh tahun Indonesia merdeka, tapi apakah kita sungguh merdeka? Upacara tetap digelar, pidato kenegaraan dibacakan, dan parade militer menghiasi layar kaca. Namun di balik kemeriahan simbolik itu, banyak rakyat mulai mempertanyakan makna sejati kemerdekaan. Kita memang tidak lagi dijajah bangsa asing, tapi apakah kita bebas dari cengkeraman kekuasaan predatorik yang bersemayam di dalam tubuh negara?

Negara ideal seharusnya melayani dan melindungi rakyat. Tapi hari ini, negara justru kerap menjadi alat perebutan sumber daya oleh elite politik dan ekonomi. Aparat penegak hukum bukan lagi penjaga keadilan, melainkan bagian dari konflik kepentingan yang kompleks. Kejaksaan dan kepolisian seolah berlomba mengukuhkan pengaruh. Bahkan militer pun masuk dalam arena kekuasaan sipil.

Yudi Latif pernah mengingatkan, “Negara yang sehat adalah negara yang institusinya bekerja dalam harmoni, bukan saling mengintai.” (Kompas, 2024). Tapi hari ini, harmoni itu nyaris hilang. Negara predator bukan lagi ancaman imajiner, melainkan kenyataan yang harus diakui. Peringatan kemerdekaan kali ini semestinya menjadi momentum untuk bertanya ulang: negara ini milik siapa?

Negara Predator

Istilah negara predator (predatory state) muncul dalam kajian ilmu politik dan ekonomi politik sebagai kritik terhadap negara yang menyimpang dari fungsi idealnya sebagai pelayan publik. Dalam negara semacam ini, kekuasaan digunakan oleh elite politik dan oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya demi kepentingan kelompok sempit, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Peter Evans, dalam Embedded Autonomy (1995), membedakan antara predatory state dan developmental state; yang pertama dikuasai elite korup, sementara yang kedua mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif.

Mushtaq H. Khan menambahkan, negara predator sering muncul di negara berkembang dengan institusi hukum lemah, di mana jabatan publik dimanfaatkan untuk meraup rente dan hukum dijadikan alat represi. William Reno (1998) bahkan menggambarkan negara semacam itu sebagai “perusahaan keluarga bersenjata”. Dalam konteks negara-negara pascakolonial, konsep ini mencerminkan transformasi negara dari pelayan publik menjadi ancaman nyata bagi warganya sendiri.

Perebutan Kekuasaan

Baru-baru ini, publik dibuat terkejut oleh keterlibatan langsung TNI dalam mengamankan ribuan hektare kebun sawit yang merupakan barang sitaan kejaksaan. Aksi ini memunculkan tanda tanya besar: sejak kapan militer memiliki kewenangan hukum untuk menjalankan fungsi seperti itu? Tidak satu pun regulasi yang secara eksplisit memberikan mandat kepada TNI untuk mengamankan aset kejaksaan. Namun dalam praktik kekuasaan di Indonesia, logika hukum kerap dikalahkan oleh logika kekuasaan. Ketika tatanan hukum tunduk pada kehendak elite, kita menyaksikan gejala klasik dari negara predator—sebuah negara yang menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan dominasi segelintir kelompok, bukan untuk melindungi rakyat.

Marcus Mietzner (2023), dalam bukunya The Coalitions Presidents Make, menyebut bahwa meskipun institusi formal demokrasi di Indonesia masih berdiri utuh, pengambilan keputusan strategis justru semakin dikuasai oleh jaringan informal yang tak akuntabel. Ini termasuk oligarki ekonomi, elite politik, dan sebagian aktor militer. Demokrasi prosedural seperti pemilu dan lembaga perwakilan memang tetap berjalan, tetapi tidak lagi menjadi penentu utama arah negara. Institusi yang seharusnya menjadi penyeimbang seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi pun dilemahkan dari dalam, baik melalui revisi regulasi maupun intervensi politik yang sistematis.

Dalam konteks negara predator, hukum tidak lagi memiliki kekuatan sebagai penjaga keadilan. Ia menjadi alat yang lentur dan bisa dipelintir sesuai selera kekuasaan. Profesor Saldi Isra, dalam sebuah diskusi di Fakultas Hukum UGM (2024), secara lugas menyatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat rawan terhadap intervensi politik, sehingga prinsip due process of law kerap dikorbankan demi kepentingan kekuasaan. Pernyataan ini diperkuat oleh jurnalis senior Bambang Harymurti yang menyoroti praktik kriminalisasi terhadap warga sipil yang menggunakan hak konstitusional untuk menyampaikan kritik.

Lebih dari itu, bentuk eksploitasi negara predator juga tampak dalam pengelolaan ekonomi. Pajak dipungut dengan ketat dari rakyat, namun pengelolaannya tertutup dan minim akuntabilitas. Sumber daya alam dan aset publik justru dikendalikan oleh kongsi-kongsi ekonomi-politik yang terhubung dengan elite penguasa. Robison dan Hadiz (2004) menyebut situasi ini sebagai “oligarki baru”—sebuah mutasi dari aktor-aktor Orde Baru yang kini bertransformasi dalam kemasan demokrasi.

Ironisnya, semua praktik ini sering dibungkus dengan retorika pembangunan dan nasionalisme. Negara tampil seolah-olah bekerja demi rakyat, padahal kenyataannya hanya melayani kelompok terbatas. Delapan dekade sejak Proklamasi, cita-cita keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 justru terasa semakin jauh. Ketimpangan semakin ekstrem. Data BPS (2024) mengungkap bahwa 1 persen orang terkaya menguasai hampir 50 persen kekayaan nasional. Jeffrey Winters menyebut kondisi ini sebagai “oligarki material”, situasi di mana kekayaan digunakan untuk membeli dan mempertahankan kekuasaan politik.

Demokrasi prosedural memang masih hidup, tapi jiwanya telah lama hilang. Negara tak lagi menjadi pelindung, melainkan predator yang memangsa hak dan masa depan rakyat. Hanya kesadaran politik yang kritis dan partisipasi aktif dari warga yang bisa membalik arah sejarah ini.

Halaman
12

Berita Terkini