BANJARMASINPOST.CO.ID - SUDAH lama masyarakat di Indonesia menyimpan kekhawatiran soal isu kepastian hukum.
Banyaknya kasus yang membongkar kebobrokan oknum aparat dan perangkat penegakan hukum jadi pemicunya.
Anggapan soal siapa yang kaya dan berkuasa bakal menang di ranah hukum membayangi sistem keadilan di negeri ini. Kekhawatiran demikian seakan sudah tertanam di alam bawah sadar banyak masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang tak punya koneksi. Istilah seperti ‘no viral no justice’, ‘percuma lapor polisi’, hingga ‘kabur aja dulu’ tak akan viral tanpa alasan.
Namun belakangan, muncul lagi satu kekhawatiran baru yang makin memperberat beban pikiran masyarakat.
Pemicunya, berturut-turut muncul kebijakan kontroversial seperti pengambilalihan lahan terbengkalai hingga pemblokiran rekening tabungan dormant. Walau tak secara gamblang dipaparkan, namun tak sulit menerka ke mana arah dari kebijakan demikian.
Pemerintah tampaknya ingin mendorong transaksi dan pergerakan keuangan secara masif di kalangan masyarakat. Agar lahan tak diambil alih, ada yang lantas berencana membuat kebun, ada yang membuat toko, kafe, rumah dan seterusnya.
Begitu pula dengan pemblokiran rekening, tampaknya pemerintah berharap masyarakat berlomba-lomba untuk bertransaksi. Intinya, diharapkan ada perputaran uang.
Lesunya pergerakan ekonomi masyarakat pada 2025 sudah sangat tampak sejak momen liburan Idulfitri. Melansir Kompas.id, data Kementerian Perhubungan mencatat jumlah pergerakan selama periode lebaran 2025 turun 4,69 persen dibanding lebaran sebelumnya. Jika pada 2024 ada 162,2 juta orang melakukan perjalanan, hanya 154,6 juta orang di momen lebaran 2025.
Dampaknya, konsumsi BBM menurun masing-masing 6 persen dan 4 persen pada jenis bensin dan avtur.
Pemerintah pun sudah lama menyadari kondisi ini, buktinya Menteri Keuangan, Sri Mulyani memangkas target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025. Jika awalnya pertumbuhan ekonomi ditarget di angka 5,2 persen, target kini dipangkas. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2025 di kisaran 4,7 sampai 5 persen.
Berbagai program untuk menstimulasi aktivitas ekonomi seperti penyaluran bantuan tunai tampaknya belum cukup mencapai harapan pemerintah. Namun demikian, jika kebijakan pengambilalihan lahan terbengkalai dan pemblokiran rekening dormant jadi cara yang dipilih, ada risiko yang turut muncul.
Hal demikian bisa memicu keresahan bahkan kemarahan di kalangan masyarakat dan berujung menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah. Jika perilaku demikian meluas, tentu jadi ancaman tersendiri bagi sistem perbankan Indonesia.
Harapannya ada kebijakan yang lebih elegan untuk membantu mendorong perekonomian dan bukannya melahirkan ketakutan baru di benak masyarakat. Jangan sampai kebijakan yang tidak tepat justru menciptakan situasi yang genting. (*)