Berita Kalsel

Kisruh Tapal Batas HST-Kotabaru, Masyarakat Adat Mengaku Tidak Dilibatkan

Kisruh Tapal Batas HST-Kotabaru, AMAN Kalsel bersama tokoh adat Pegunungan Meratus menilai kesepakatan pada 2021 itu cacat formil.

|
Penulis: Stanislaus Sene | Editor: M.Risman Noor
banjarmasinpost.co.id/milna sari
TAPAL BATAS - Penandatanganan kesepakatan tapal batas HST dan Kotabaru. Kini persoalan tapal batas HST dengan Kotabaru kembali mencuat. 

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Komplain terhadap kesepakatan tapal batas antara Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan Kabupaten Kotabaru di Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali mencuat.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel bersama tokoh adat Pegunungan Meratus menilai kesepakatan pada 2021 itu cacat formil, tidak adil serta merugikan masyarakat adat.


Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel, Rubi, kepada awak media, Kamis (6/11), menegaskan kesepakatan tersebut harus ditinjau ulang karena mengancam keberlangsungan wilayah adat yang telah dihuni masyarakat adat secara turun-temurun.


“Kesepakatan tapal batas itu tidak sah secara hukum tata negara, karena tidak melibatkan masyarakat adat dan hanya diwakili pejabat yang tidak memiliki kewenangan penuh. Ini keputusan besar antar kabupaten, seharusnya dihadiri langsung oleh kepala daerah,” ujarnya.


Rubi menyatakan dalam pertemuan resmi penetapan batas wilayah yang dipimpin oleh Pj Gubernur Kalsel Syafrizal pada Juni 2021, pihak Kotabaru hanya diwakili oleh Sekretaris Daerah H Said Akhmad, bukan oleh bupati.


Selain itu, tambah Rubi, masyarakat adat yang tinggal di kawasan Pegunungan Meratus, khususnya di Dusun Mangga Jaya, Desa Juhu, dan Aing Bantai, tidak pernah mendapatkan informasi resmi dari Pemerintah Kotabaru.

Baca juga: HST Komplain Perbatasan Kotabaru, Gubernur Kalsel Diminta Tinjau Ulang Kesepakatan

Baca juga: Harga Sembako di Tala Jelang Nataru dan Haul Guru Sekumpul, Bupati: Pengawasan Akan Terus Dilakukan


"Alih-alih dilibatkan, masyarakat adat justru mendengar kabar pembagian wilayah itu dari luar. Pemerintah Kotabaru tidak pernah datang berdialog dengan warga kami. Ini menyakitkan dan jelas tidak menghormati eksistensi masyarakat adat,” tegasnya.


Menurut data AMAN Kalsel, dari total 34 ribu hektare lahan yang menjadi sengketa di kawasan hutan lindung kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten HST hanya memperoleh 11 ribu hektare. Sedangkan 23 ribu hektare lainnya masuk wilayah Kotabaru.


Rubi menilai pembagian ini sangat timpang dan tidak memiliki dasar hukum maupun data lapangan yang kuat.


“Kesepakatan itu dibuat secara tertutup, tanpa transparansi, dan menabrak batas adat masyarakat,” katanya.

Desakan peninjauan ulang juga datang dari masyarakat di tiga desa yang terdampak langsung, yakni Desa Juhu, Aing Bantai, Batu Perahu, dan Mangga Jaya di Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), HST.

Baca juga: Semarak Starnite Himakom Uniska Banjarmasin, Merajut Solidaritas Mahasiswa di Bawah Gemerlap Bintang


Kepala Adat Kecamatan BAT, Junaidi, menyebut masyarakat kecewa dengan hasil kesepakatan batas wilayah tersebut karena pembagian lahan tidak adil dan tidak melibatkan masyarakat adat.


“Dari 34 ribu hektare yang dipersengketakan, HST hanya mendapat 11 ribu hektare, sedangkan Kotabaru 23 ribu hektare. Padahal wilayah itu merupakan tanah ulayat kami yang sudah dikelola turun-temurun,” ujarnya.


Junaidi menambahkan, sejak 2021 masyarakat adat telah mengajukan keberatan dan melakukan audiensi ke berbagai tingkatan pemerintah, mulai dari kabupaten, provinsi, hingga Kementerian Dalam Negeri. Namun, hingga kini belum ada kejelasan hasil tindak lanjut.


“Kami siap membawa para tokoh adat jika nanti dilakukan peninjauan ulang tapal batas. Jangan sampai kesepakatan ini memicu konflik sosial dan mengancam kearifan lokal yang sudah lama kami jaga,” katanya.

Ia juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat, yang selama ini belum memiliki kejelasan meski sudah diajukan lebih dari satu dekade.

Baca juga: Jumlah Uang Diamankan KPK Suap Kasus Jual Beli Jabatan di Ponorogo, Ungkap 3 Klaster


Sementara itu, Rusli, warga Desa Mangga Jaya, mengungkapkan bahwa pembagian batas tersebut tidak sesuai dengan hasil survei lapangan yang pernah dilakukan pada tahun 2007.

"Waktu itu kami turun langsung bersama tim batas wilayah untuk menunjukkan titik-titik batas sesuai kondisi alam seperti sungai dan gunung. Tapi hasil keputusan 2021 justru jauh berbeda dan tanpa pelibatan masyarakat,” ujarnya kecewa.


Rusli menilai, keputusan sepihak itu seolah-olah menganggap wilayah adat tidak berpenghuni. “Padahal di sana ada kehidupan, ada anak-anak yang sekolah, dan masyarakat yang menjaga hutan agar tetap lestari,” katanya. (banjarmasinpost.co.id/stanislaus sene)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved