Kolom

AI: Ancaman atau Harapan Anak Kita?

Pada tema Hari Anak Sedunia tahun 2025 adalah”My Day, My Rights”, ada satu entitas yang kini hadir dalam kehidupan anak yakni kecerdasan buatan (IA)

Editor: Irfani Rahman
Istimewa
AHMAD SYAWQI Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin 

Oleh: AHMAD SYAWQI

Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- SETIAP tahun, Hari Anak Sedunia mengingatkan kita bahwa anak-anak bukan hanya penerima masa depan, tetapi arsitek masa depan itu sendiri. Dilansir dari laman UNICEF, tema Hari Anak Sedunia tahun 2025 adalah”My Day, My Rights”. 

Tema tersebut dipilih untuk menegaskan kembali bahwa anak memiliki hak untuk tumbuh, belajar, bermain, dilindungi, mendengarkan perspektif anak dan memberdayakan serta menyuarakan pendapat mereka. Namun di tengah dunia yang berubah cepat, ada satu entitas yang kini hadir dalam kehidupan anak bahkan sebelum mereka bisa membaca: kecerdasan buatan (AI).

AI kini menyelinap ke semua sudut hidup anak. Dari rekomendasi video yang mereka tonton, chatbot yang menjawab pertanyaan PR, hingga algoritma yang menentukan apa yang mereka lihat dan apa yang tidak. Pertanyaannya sederhana namun krusial: Apakah AI adalah ancaman atau harapan bagi anak-anak kita?

Jawabannya tidak sesederhana memilih salah satu. AI bisa menjadi keduanya, tergantung bagaimana kita membingkai penggunaan dan regulasinya. Karena itu, perdebatan sesungguhnya bukan tentang “AI, ya atau tidak?”, tapi “AI seperti apa yang memastikan hak anak tetap terjaga?”.

Ketika AI Mengancam

Platform digital, terutama media sosial dan video pendek, digerakkan oleh algoritma yang dirancang untuk membuat pengguna betah. Anak-anak, dengan rasa ingin tahu besar dan kemampuan kontrol diri yang belum matang, menjadi target sempurna. Tanpa disadari, algoritma telah “mencuri masa kecil” menjadi “pengasuh” baru, menentukan apa yang mereka lihat dan pikirkan.

Dampaknya? Gangguan konsentrasi, pengurangan waktu bermain fisik, gangguan tidur, dan berkurangnya interaksi sosial. Masa kecil yang seharusnya penuh eksplorasi dunia nyata terkurung dalam kotak layar 6 inci.

AI yang digunakan dalam aplikasi editing foto dan video menciptakan fantasi digital dan ilusi sempurna: wajah lebih halus, tubuh lebih ideal, hidup lebih menyenangkan. Anak usia 9–12 tahun kini menjadi pengguna aktif filter “beauty AI”. Beberapa penelitian menunjukkan keterpaparan berulang pada citra tubuh ideal digital dapat menurunkan kepercayaan diri dan memicu kecemasan sosial serta krisis identitas.

Ketika anak mulai merasa identitas digitalnya lebih “berharga” daripada dirinya sendiri, kita perlu khawatir dan tentunya privasi anak dalam bahaya. Jejak digital anak dimulai bahkan sebelum mereka lahir melalui unggahan ultrasonografi, vlog keluarga, hingga aplikasi belajar yang menyimpan data perilaku. AI kemudian memproses data ini untuk menargetkan iklan atau memprediksi kebiasaan. Padahal, anak memiliki hak atas privasi, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak PBB. Tanpa regulasi ketat, data anak dapat menjadi komoditas ekonomi.

AI bekerja berdasarkan data. Jika data bias, hasilnya juga bias sehingga ada risiko ketidakadilan digital. Studi global menunjukkan beberapa model AI gagal mengenali wajah anak dengan warna kulit tertentu, atau memunculkan rekomendasi yang tidak aman. Ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam pendidikan, keamanan online, atau akses kesehatan digital.

AI sebagai Harapan

Di sisi lain, mengutuk AI sepenuhnya bukanlah solusi. AI juga membuka pintu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Dapat membantu anak belajar sesuai ritme mereka.

Anak yang lambat memahami matematika bisa mendapatkan latihan yang lebih personal; anak yang cepat menguasai materi bisa melompat ke topik lebih menantang. Bagi anak berkebutuhan khusus, AI mampu membantu pengenalan emosi, terapi bicara, hingga pembelajaran berbasis suara. Ini bukan sekadar teknologi tetapi ini revolusi Pendidikan yang Lebih Adaptif dan Inklusif.

AI dapat memfilter konten berbahaya, mendeteksi cyberbullying, memblokir predator digital, dan memberi peringatan kepada orang tua tanpa harus mengintip privasi anak secara berlebihan. Jika dikembangkan dengan benar, AI justru bisa menjadi benteng terkuat bagi keamanan digital anak yang lebih cerdas.

Dunia kerja 2030–2040 akan didominasi pekerjaan yang melibatkan interaksi dengan AI.  Anak yang sejak dini diperkenalkan dengan AI secara sehat akan lebih siap menghadapi dunia kerja dimasa depan.

Mereka tak sekadar menjadi konsumen teknologi, tetapi kolaborasi anak dan AI menjadikan mereka kreator dan pemikir kritis. Dengan AI tentunya dapat membantu anak membuat gambar, musik, cerita, atau bahkan prototipe teknologi. Ini bukan untuk menggantikan kreativitas anak, tetapi memperluasnya.

Mengapa kita harus bertindak sekarang? Karena generasi anak saat ini adalah “generasi eksperimen”. Mereka tumbuh pada masa ketika regulasi belum siap, orang tua masih belajar, dan teknologi berkembang jauh lebih cepat daripada kebijakan. Jika kita tak membuat pagar batas yang jelas, AI dapat membentuk masa depan anak tanpa kendali manusia.

Hari Anak Sedunia 2025 adalah momentum tepat untuk menyatakan: Anak berhak atas masa depan digital yang aman, sehat, dan manusiawi. Solusi terbaiknya adalah kita bersama-sama menciptakan ekosistem AI yang ramah anak.

Dimulai dari keluarga, para orang tua sebagai garda terdepan yang harus berperan memberikan pengetahuan tentang Literasi Digital Keluarga. Dampingi anak saat bereksperimen dengan AI, bukan melarang tanpa penjelasan. Ajarkan anak membedakan dunia nyata dan dunia digital, serta terapkan aturan penggunaan gadget yang konsisten, bukan represif.

Di pemerintahan diharuskan juga memberikan regulasi negara yang tegas terhadap perlindungan data anak setara atau lebih tinggi dari standar privasi dewasa. Aplikasi edukasi wajib transparan tentang penggunaan dan penyimpanan data dan dilarang keras memprofilkan anak untuk iklan komersial.

Di sekolah juga harus dijadikan sebagai ruang aman digital. Sekolah harus menyediakan sarana bermain fisik yang cukup agar anak tidak bergantung pada layar dan ruang berekspresi untuk mendengar suara mereka.

Beri kesempatan anak untuk menyampaikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai dari AI. Melalui Kurikulum literasi digital harus menjadi mata pelajaran wajib yang mampu mengembangkan kreativitas anak untuk membuat proyek teknologi kreatif sesuai minat mereka. Para Guru juga perlu dibekali pelatihan penggunaan AI dalam pembelajaran.

Pada momentum Hari Anak Sedunia 2025 ini, mari kita tegaskan bahwa dunia digital bukan hanya ruang bermain bagi teknologi, tetapi ruang hidup bagi anak-anak yang memerlukan perlindungan maksimal. Karena pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “AI: ancaman atau harapan anak kita?”, melainkan: “Apakah kita siap memastikan AI menjadi harapan bagi masa depan mereka?”. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Hari-hari Terakhir

 

Si Manis Ancam Anak-anak

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved