Berita Nasional

Diaspora Indonesia Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Media Asing Sebut Pemutihan Sejarah

Mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, Australia menyatakan penolakan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada

Editor: Hari Widodo
(Dok. YouTube Sekretariat Presiden)
PAHLAWAN NASIONAL- Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). 

BANJARMASINPOST.CO.ID, SYDNEY - Mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, Australia, yang tergabung dalam Aliansi Gusar menyatakan penolakan tegas terhadap langkah pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Ke-2 RI, Soeharto.

Dalam konferensi pers daring yang digelar pada Minggu (9/11), mereka menilai langkah tersebut tidak hanya melukai nurani bangsa, tetapi juga mengabaikan penderitaan korban pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, dan represi politik yang terjadi selama masa Orde Baru.

“Soeharto memiliki rekam jejak menjadi diktator, otoriter, melakukan pelanggaran hak asasi manusia, melakukan korupsi, dan seterusnya. Soeharto juga dilengserkan pada 1998. Bagaimana seorang yang dilengserkan kemudian diangkat jadi pahlawan?” ujar perwakilan Aliansi Gusar, Slamet Thohari, yang kini menempuh studi doktoral di Western Sydney University.

Pernyataan perwakilan Aliansi Gusar ini muncul hanya sehari sebelum Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Pemberian gelar dilakukan terhadap ahli waris di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11/2025).

Baca juga: Pahlawan Nasional dan Simbol Perjuangan Buruh

Presiden Prabowo juga memberikan gelar Pahlawan Nasional ke sejumlah tokoh lainnya, termasuk Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid, Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo, dan tokoh buruh Marsinah.

Sementara itu, sorotan luas datang dari media internasional. Media asing menyoroti langkah ini sebagai bagian dari tren “pemutihan sejarah” atau historical whitewashing merujuk pada jejak kelam Soeharto yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kekerasan selama lebih dari tiga dekade memimpin Indonesia.

Surat kabar The Guardian dalam laporannya berjudul Fury as Indonesia declares late authoritarian ruler Suharto a national hero menyoroti amarah publik dan tudingan “pemutihan sejarah” di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Media Inggris itu menyebut penghargaan terhadap Soeharto memperdalam kekhawatiran akan upaya “membersihkan” masa lalu kelam Orde Baru, yang ditandai korupsi, sensor, dan pelanggaran HAM massal.

Dalam laporan itu, The Guardian menulis, “Keputusan ini menunjukkan adanya upaya untuk menulis ulang sejarah dengan menonjolkan sisi kepahlawanan sambil menghapus jejak kekerasan dan represi”.

Sementara itu Media Malaysia The Star, melalui artikelnya Indonesia grants national hero status to late strongman President Suharto, menyoroti sisi politis dan simbolis dari penobatan Soeharto sebagai pahlawan.

Media itu mengutip aktivis Indonesia di Timor Leste, Tadius Priyo Utomo, yang ikut berdemo di Jakarta.

“Perjuangan kami di masa lalu menjadi sia-sia. Kami disebut pengkhianat karena melawan Soeharto, sementara kini ia disebut pahlawan,” ujarnya.

Baca juga: Datu Kelampayan Belum Masuk Pahlawan Nasional, Dinsos Kalsel Beri Penjelasan

Selain itu, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman memperingatkan bahwa gelar itu bisa menjadi “lampu hijau” bagi presiden saat ini untuk meniru pendekatan represif era Soeharto.

Analis politik Kevin O’Rourke, penulis buku Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia, menilai langkah ini berpotensi “memutihkan sejarah dan menghidupkan kembali otoritarianisme,” meskipun ia menambahkan demokrasi Indonesia sudah terlalu matang untuk dibalikkan sepenuhnya.(Kompas.com/Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved