Antara Takdir dan Ikhtiar Manusia
Takdir memang kejam. Tak mengenal perasaan. Bersimpuh ku genggam harapan yang jadi arang.
Ketika ia menentukan pilihan untuk berbuat, saat itulah Allah memberikan “jalan” untuk berbuat apa yang diinginkannya, berdasarkan kehendak manusia itu sendiri. Oleh karena itu, Allah mengetahui dan akan berbuat sesuatu yang bersumber dari manusia berdasarkan kehendak manusia dan pilihannya sendiri, baik berupa perkara yang baik ataupun yang buruk. Inilah makna adanya ketentuan Allah (takdir).
Bisakah takdir berubah? Suatu ketika di negeri Syam terjadi wabah penyakit. Sahabat Umar bin Khattab ra yang berencana berkunjung ke negeri tersebut pun dibatalkan. Tiba-tiba ada yang bertanya: apakah Anda sengaja lari atau menghindar dari takdir Tuhan? Sahabat Umar ra. menjawab: saya menghindar dari takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain.
Jawaban sahabat Umar ra. di atas, menunjukkan bahwa terjangkitnya penyakit adalah suatu takdir yang telah ditetapkan Allah, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya.
Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun bagian dari takdir. Beralihnya dari satu takdir ke takdir lain adalah bagian dari takdir itu sendiri. Setiap proses demi proses adalah bagian dari takdir. Oleh karena itu, manusia dalam berbagai kondisinya tidak bisa terlepas dari takdir yang sudah digariskan.
Setiap kita memang memiliki takdirnya masing-masing. Dan ingat, takdir tidak pernah kejam terhadap kita. Karena adanya takdir bukan berarti “merampas” kehendak dan kebebasan kita.
Sekali lagi, takdir tidak pernah membelenggu “kebebasan” kita untuk memilih mana yang terbaik. Hanya saja, tidak semua yang kita klaim baik bagi kita, baik pula di mata Allah. Begitu juga sebaliknya. (*)

 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											