Kalah Kompak
GEBRAKAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan tiga hakim dan seorang panitera pengganti di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Oleh: Pramono BS
GEBRAKAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan tiga hakim dan seorang panitera pengganti di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan serta seorang pengacara, adalah prestasi besar. Bahkan bisa dibilang spektakuler karena setelahnya ditangkap pula seorang pengacara kondang, OC Kaligis. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho juga sudah diperiksa sebagai saksi. Bersama istrinya, Evy Susanti, Gatot juga dicegah ke luar negeri.
Sebelumnya KPK menangkap dua anggota DPRD Banyuasin, Sumsel dan mantan Bupati Tanahlaut, H Adriansyah di saat kongres PDIP di Bali. Ini luar biasa, penegak hukum mana yang bisa melakukannya dalam waktu singkat. Perkara boleh saja banyak, tapi tidak kalah penting tindakan selanjutnya. KPK telah membuktikan kedigdayaannya.
Penyuapan tiga hakim PTUN Medan itu berhubungan dengan sidang gugatan atas surat perintah penyelidikan dari Kejati Sumut berkaitan dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Pemprov Sumut.
Gugatan diajukan Ahmad Fuad Lubis, pejabat Pemprov Sumut yang menggugat Kejati. Penggugat didampingi pengacara M Yagari Bhastara alias Gerry, dari Kantor Pengacara OC Kaligis dan Partner. Sidang PTUN memenangkan penggugat.
Ibarat orang sakit, dalam kondisi belum sehat benar, KPK ternyata masih bisa berbuat banyak untuk negara ini. Bisa menangani kasus-kasus besar yang melibatkan orang besar. Bukan kasus ecek-ecek yang tidak berdampak terhadap penegakan hukum. Bahkan justru mendegradasi hukum sehingga terkesan hanya untuk menakuti orang.
Di tengah wajah hukum yang kuyu di negara ini, yang dilakukan KPK ibarat oase atau mata air di padang pasir yang gersang. Saya katakan kuyu karena memang tidak bersinar, tidak ada gairah, yang ada hanya keputusasaan. Memang tak bisa dilihat atau diraba, tapi frasa ketidakadilan itu bisa dirasakan.
Yang terbaru adalah kisah ditetapkannya dua komisioner Komisi Yudisial (KY) sebagai tersangka pencemaran nama baik atas laporan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi. Ini berkaitan dengan pernyataan kedua komisioner itu di media massa. Pertanyaannya, apa salahnya pengawas hakim memberikan keterangan atas hasil penyelidikannya terhadap seorang hakim. Ini berkaitan dengan keputusan Sarpin yang memenangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK. Waktu itu penetapan tersangka belum menjadi objek praperadilan.
***
Harapan masyarakat agar Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan ketentuan bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan musnah karena MK justru memutus sebaliknya. Akhirnya sejumlah penetapan tersangka dibatalkan oleh praperadilan.
Orang belum habis rasa kecewanya, MK mengeluarkan putusan yang mengizinkan keluarga petahana maju dalam Pilkada. Semula dilarang lewat UU Nomor 8 pasal 7 huruf r.
Pasal itu dianulir karena dianggap melanggar konstitusi. Dengan demikian politik dinasti kini dilegalkan di Indonesia. Penguasa Banten yang dulu dikritik karena menempatkan banyak anggota keluarganya menjadi kepala atau wakil kepala daerah sampailurah, kini dianggap benar.
Lagi-lagi MK juga mengabulkan permohonan agar mantan narapidana diizinkan maju dalam Pilkada. Semula hak itu hanya diberikan jika ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun.
Sebagai pelengkap, Menteri Hukum dan HAM juga mengizikan narapidana koruptor mendapat remisi, padahal sebelumnya dilarang.
Lantas apa hubungannya dengan KPK? Semua keputusan itu dikhawatirkan bisa menyuburkan korupsi di Indonesia. Kalau melihat tekad dan kinerja KPK sebenarnya ada harapan koruptor mendapat lawan seimbang. Tapi kalau melihat ketidakkompakan penegak hukum, sepertinya KPK akan menghadapi lawan lebih berat.