Memang Beda
MERINDING rasanya mendengar dua bocah menyampaikan impiannya saat peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta.
Beruntunglah kesadaran itu kini mulai tumbuh di kalangan anak-anak. Mereka selama ini mendapatkan pembelajaran dari media cetak dan tayangan televisi yang mempertontonkan pejabat pakai baju tahanan, atau melalui pendidikan kejujuran di sekolah.
Misalnya, mereka makan di kantin sekolah mengambil sendiri, membayar dan mengambil uang kembalian sendiri. Mereka diajari malu karena dari malu itu kejujuran akant ertanam. Sekali saja mereka ambil kue tidak bayar sudah akan menjadi stigma baginya.
Ini berbeda dengan lingkungan orangtuanya. Tempatnya bekerja tidak mendukung orang untuk bersikap jujur. Korupsi dianggap biasa, bendahara proyek menaikkan harga pembelian barang itu tidak haram, komisi itu sah, memotong anggaran tidak dilarang, gratifikasi itu rezeki dari Tuhan.
Yang namanya proyek fiktif, kegiatan fiktif, perjalanan dinas fiktif dan fiktif-fiktif lain terjadi di semua kantor pemerintah. Jadi lingkungan kerjanya sangat buruk, koruptif dan menciptakan persaingan tidak sehat bukan dalam prestasi tapi dalam hal rezeki. Kasihan anak-anaknya yang dijejali rezeki haram.
Benar juga kalau korupsi itu tidak habis-habis karena ‘materialnya’ seperti itu. Generasi selanjutnya terlalu sulit untuk tidak hanyut dalam arus deras korupsi karena peluang itu ada.
Sejumlah narapidana korupsi juga terdiri atas anak muda seperti Gayus Tambunan, Nazarudin, Anas Urbaningrum, dan Angelina Sondakh.
Banyak orang ingin KPK dibubarkan. Lembaga antirasuah itu dianggap berbahaya dan melanggar HAM. Beruntunglah anak-anak mulai sadar.
Kesadaran itu muncul dari bawah karena yang tua-tua tidak ada keinginan itu, apalagi yang memusuhi KPK. Memang beda. (*)

 
							 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											