Opini Publik

Penolakan, Pengesahan dan Potensi Pelemahan (Polemik Revisi UU KPK)

PRO dan kontra menjadi polemik merespons dan menyikapi revisi UU KPK. Problematika fakta, data dan hukum serta pergulatan opini terus menyeruak.

Editor: Elpianur Achmad
KOMPAS.com/LAKSONO HARI WIWOHO
Ilustrasi 

Para pegawainya pun menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada peraturan kepegawaian pemerintah. Menghilangkan independensi KPK berarti membuka ruang terciptanya intervensi eksekutif dalam pengusutan kasus korupsi. KPK tak lagi leluasa menjalankan tugasnya sebab harus taat pada aturan dan kekuasaan pemerintah. Bisa jadi, ketika ada korupsi di tubuh pemerintahan, gerak KPK berpotensi menjadi sempit.

Usulan lain dalam materi revisi yang disetujui DPR adalah, pertama; Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK berasal dari Polri. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri.

Kedua; Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi. Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

Ketiga; Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya.

Keempat; Pembentukan Dewan Pengawas. Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

Dengan banyaknya terjadi penolakan akan revisi UU KPK ini, mengindikasikan masyarakat menilai dan mempertanyakan rezim Jokowi terhadap komitmen penguatan kedudukan dan kewenangan KPK serta komitmen terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Korupsi adalah kejahatan yang dapat dinilai lebih berbahaya dari tindak pidana teroris, karena dampak korupsi sangat luas, massif dan berkelanjutan.

Pakar hukum dan tata negara dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,sempat memberikan komentarnya tentang revisi UU KPK melihat polemik yang terjadi dengan harapan pembahasan atau revisi UU KPK ditunda karena prosedur yang ada dirasakan tidak tepat.

Presiden bisa saja menarik atau menunda pembahasan, terlepas dari isi dan materi dalam revisi. Apalagi dalam beberapa hari ke depan DPR juga akan diganti.

Anita Wahid anggota Koalisi Perempuan Antikorupsi yang juga putri almarhum Gus Dur, menyatakan bahwa revisi UU KPK ini terburu-buru dan beliau juga mempertanyakan begitu cepatnya DPR melakukan pembahasan terhadap revisi UU KPK. Anita Wahid menyinggung pengesahan pembahasan RUU KPK yang menurutnya terburu-buru. Ia pun mempertanyakan niat di balik cepatnya UU KPK ini direvisi.

Maka, eksistensi revisi UU KPK ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang terburu-buru. Alangkah lebih baik dan bijaknya jika dilakukan penundaan, karena ini juga berkaitan dengan penanganan kejahatan tindak pidana korupsi yang menjadi momok menakutkan negara Indonesia, maka sudah seharusnya menjadi kajian yang mendalam dengan tempo yang tidak sesingkat ini.

UU KPK sangat krusial, luar biasa sensitif dan juga berdampak jangka panjang serta signifikan. Maka harus dilakukan kajian mendalam kemudian melibatkan segala stakeholder (lembaga dan individu yang berkaitan).

Tapi yang terjadi muncul kesenjangan antara das sollen (keharusan) dengan das sein (kenyataan). Pembahasan revisi UU KPK sejak resmi jadi usul inisiatif DPR hingga disahkan dalam rapat paripurna DPR hanya 13 hari. DPR sendiri akan mengakhiri masa jabatannya pada 30 September 2019. (*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved