Ekonomi dan Bisnis
Sempat Merosot Tajam, Per November 2019 HBA Naik 2,27 Persen, Aspektam : Bisnis Batubara Kalsel Lesu
Bahkan pada Oktober 2019 HBA berada pada level terendah dalam kurun tiga tahun terakhir yaitu 64,8 USD per ton untuk standar kalori 6.300 KCal/kg.
Penulis: Mariana | Editor: Elpianur Achmad
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Sejak kuartal IV 2018 meninggalkan kisaran level 100 USD per ton, Harga Batubara Acuan (HBA) terus merosot, bahkan pada Oktober 2019 HBA berada pada level terendah dalam kurun tiga tahun terakhir yaitu 64,8 USD per ton untuk standar kalori 6.300 KCal/kg.
Hal ini diungkapkan Ketua Ketua Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor Tambang (Aspektam) Kalimantan Selatan (Kalsel), Solihin.
Dikatakannya, di tengah merosotnya HBA selama November 2019 ada kenaikan sedikit sebesar 2,27 persen di level harga 66,27 USD.
"Fenomena perkembangan harga batu bara tersebut menimbulkan kelesuan terhadap bisnis pertambangan batubara nasional demikian juga di Kalimantan Selatan (Kalsel), kelangsungan usaha dijalankan untuk sekedar bertahan," ujarnya kepada Banjarmasinpost.co.id, Kamis (21/11/2019).
Dibeberkannya, faktor penyebab turunnya HBA yakni adanya kebijakan Pemerintah China dan India untuk melakukan perbatasan import batubara dari Indonesia karena mereka sedang melakukan peningkatan produksi batubara dalam negeri.
• 140 Perusahaan Kecil di Kota Banjarmasin Kalsel Diprediksikan Tak Laksanakan UMK 2020 Rp 2,9 Juta
• Baznas Kalsel Sudah Salurkan 84 Persen Dana untuk Ekonomi Produktif dan Keluarga Kurang Mampu
• UMK Tabalong Tahun 2020 Naik Rp 233 Ribu Menjadi Rp 2.972.632,63, Kadisnaker : Akan Disosialisasikan
Perang dagang Amerika dan China yang secara terus menerus juga menjadi salah satu penyebab utama menurunnya aktivitas pabrik di China sehingga kebutuhan bahan bakar batubara juga menurun.
Sejak awal November 2019 memasuki musim dingin di luar negeri sedikit ada kenaikan harga batubara dan diharapkan bisa terus meningkatkan permintaan dan harga batubara ke depan.
"Cara menyikapi kondisi lesunya permintaan dan HBA rendah tersebut antara lain membatasi operasional dan produksi sambil berharap adanya perbaikan harga dan pasar ke depan, produksi diprioritaskan untuk kebutuhan kontrak yang sudah berjalan sedangkan untuk kontrak baru masih di tunda," imbuhnya.
Terkait reklamasi tambang batubara di Kalsel, diakuinya berdasarkan pantauan di lapangan belum dijalankan secara baik, lemahnya pengawasan dan pembinaan dari petugas terkait menjadi faktor dominan, selain itu masih marak terjadi penambangan yang tidak sesuai ketentuan terjadi di lapangan, sehingga pelaksanaan reklamasinya juga menjadi rumit dan tidak jelas.
Terhadap kebijakan dari pemerintah pusat dalam hal Dirjen Minerba mewajibkan aktivitas penjualan batubara dilaporkan secara online melalui sistem module verifikasi penjualan (MVP) per 1 November 2019 lalu, yang mana perusahaan Pemegang IUP yang tidak menggunakan MVP tersebut tidak bisa menjual atau melakukan Transaksi.
• Gapki Kalsel Dorong Kemitraan Permanen Pekebun Sawit Swadaya dan Perusahaan Pabrikan
• Validasi 14 Ribu Warga Miskin Penerima Bantuan Sosial di Tapin Hanya 40 Persen, Ini Konsekwensinya
Solihin mengaku sangat memberatkan dan menjadi penghambat bagi pengusaha karena selama ini pengusaha tambang sudah dipaksa menggunakan beberapa applikasi yaitu Minerba One Maps (MOMS), Minerba One Data Indonesia (MODI).
"Semua apkikasi tersebut pengusaha sudah melakukan pelaporan terhadap Transaksi dan penjulan batubara terlebih dalam e-pnbp pengusaha sudah melaporkan dan membayar royalti atas pengiriman batubara yang dijalankan. Pemberlakuan MVP adalah kebijakan yang mengada-ada dan memberatkan serta menimbulkan beban tambahan yang menambah biaya perusahaan di tengah lesunya pasar dan rendahnya harga saat ini menjadi masalah bagi perusahaan," tandasnya. (Banjarmasinpost.co.id/Mariana)
