BPost Cetak
Tolak Uji Materi UU KPK, Mahkamah Konstitusi Ungkap Alasan Ini
Mahkamah Konstitusi ( MK) menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK)
BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK) menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan dua advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario.
Dalam putusannya MK menyatakan pokok permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Gugatan tersebut mempersoalkan Pasal 37C ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan, “Ketentuan mengenai organ pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden”.
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Ketua Anwar Usman saat sidang pembacaan putusan, Rabu (29/1/2020).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan mereka tidak dapat memahami kerugian konstitusional yang dialami pemohon atas Pasal 37C ayat (2).
• Dana Nasabah Jiwasraya Cair Maret, Erick Thohir Janji di DPR
• Tiga Pesawat Siap Jemput WNI di Wuhan
• Penjemputan Paksa Nikita Mirzani Dibahas Kuasa Hukum Teman Billy Syahputra di Kasus KDRT Dipo Latief
• Dendam Mayangsari & Keinginannya Membunuh Diungkap ke Igun cs, Istri Bambang Trihatmodjo Ternyata?
Para pemohon menyebutkan keberadaan UU KPK dalam praktik penyelenggaraan negara mengancam seluruh rakyat Indonesia. Padahal, pasal yang dipersoalkan pemohon memuat tentang pengaturan organ pengawas KPK melalui Peraturan Presiden.
MK menyebut kerugian konstitusional para pemohon tidak secara spesifik dan aktual dimuat dalam Pasal 37C ayat (2) itu.
“Para pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK, namun tidak secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh para pemohon,” ujar hakim.
“Sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh para pemohon,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, profesi pemohon sebagai advokat dinilai MK tidak cukup kuat kedudukannya. Oleh karena itu MK menilai pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional.
“Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Anwar.
Tidak Beralasan
MK juga menolak permohonan perkara dengan nomor 75/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Pengajuan uji materi keduanya mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota (UU Pilkada) ditolak oleh MK. Dalam beleid pasal 1 angka 6 UU itu, pemohon mempersoalkan frasa “sudah/pernah kawin”.
Adapun pasal 1 angka 6 menyatakan, “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang daftar dalam pemilihan.”
Dalam putusannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan dalil pemohon soal frasa “sudah/pernah kawin” yang disebutkan ketidakadilan bagi setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih tidak beralasan.
Sebab, secara keseluruhan norma frasa tersebut telah sesuai dengan ketentuan umum Undang-undang a quo. Jika merujuk pada sistem UU Indonesia, materi UU yang berisikan pengertian atau definisi tidak memerlukan penjelasan. Dengan kata lain, pasal 1 angka 6 UU 8/2015 mengandung rumusan yang bersifat alternatif.
“Yaitu, Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah kawin (sedang dalam ikatan perkawinan) atau pernah kawin atau tidak lagi berada dalam ikatan perkawinan, misalnya antara lain karena perceraian atau kematian),” kata Saldi saat membacakan putusan permohonan perkara di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/1).
Dalam putusannya, MK juga membandingkan norma serupa mengenai definisi ‘pemilih’ dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu).
Dalam hal ini, UU tersebut juga mengatur mengenai pemilih yang bisa daftar dalam pemilihan. Dalam pasal 1 angka 34 beleid UU tersebut dijelaskan, “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.”
• Asal Virus Corona Terungkap, Peneliti China Sebut Dari Tempat Ini
• Dua Konsultan Sumur Bor Pemadaman Kebakaran Lahan Dijebloskan ke Rutan Palangkaraya Kalteng
• Sebanyak 81 Peserta CPNS Bawaslu Jalani Tes di Kantor BKN Banjarbaru Kalimantan Selatan
“Dengan demikian, bagi WNI yang sudah 17 tahun atau belum berusia 17 tahun tetapi sudah kawin atau pernah kawin dapat menggunakan hak pilih,” ungkap dia.
Dalam putusannya, MK juga menyatakan ada banyak aturan yang mendukung penggunaan frasa “sudah/pernah kawin” dalam sebagai syarat menggunakan hak pilih. Bahkan, MK juga menyatakan, jika merujuk pada batasan kedewasaan secara hukum adat sekalipun, tidak dapat terdapat keseragaman soal batas usia dewasa. (Tribun Network/Kompas.com/igm)