Jendela

Nasihat Guru Zuhdi

Musuh berat manusia adalah hawa nafsunya, yakni keinginan-keinginan rendahnya. Masalahnya, kita tak bisa hidup di dunia ini tanpa nafsu

Editor: Hari Widodo
istimewa
Prof DR H Mujiburrahman MA 

Oleh: Mujiburrahman

BANJARMASINPOST.CO.ID - “BAYANGKAN, jika orang sudah berumur 60 tahun, tapi masih saja menyusu pada ibunya. Apa tidak aneh dan menggelikan?” kata (alm.) Guru Zuhdi, yang disambut gelak tawa hadirin. Kata beliau, begitulah perumpamaan manusia yang tidak dapat mengendalikan nafsunya. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Said al-Bushiri (1213-1294) dalam syair Burdah, “wa al-nafsu ka al-thifli, in tuhmilhu syabba ‘alâ hubb al-radhâ’i wa in tafthimhu yanfathimi (Dan nafsu itu seperti bayi, jika kau biarkan dia menyusu, dia akan terus suka menyusu sampai dewasa, tetapi jika kau sapih, dia akan berhenti).

Musuh berat manusia adalah hawa nafsunya, yakni keinginan-keinginan rendahnya. Masalahnya, kita tak bisa hidup di dunia ini tanpa nafsu. Tanpa nafsu, kita takkan berselera makan dan minum, dan kita juga takkan ingin kawin. Tanpa nafsu, kita tak ingin kenyamanan pakaian dan tempat tinggal. Jadi, kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Karena itu, agama tidak mengajarkan kepada kita untuk membunuh nafsu. Yang diajarkan agama adalah, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu. Nafsu adalah bahan bakar tubuh yang harus dikendarai ruh untuk mencapai tujuan hidup.

Menurut Guru Zuhdi, nafsu itu tak terkendali karena ia mencintai dunia. Dunia ini menyenangkan sesaat, tetapi menghancurkan di kemudian hari. Salah satu ciri nafsu-cinta-dunia adalah tidak pernah merasa puas. Ingin terus, lagi dan lagi. Punya harta berapapun banyaknya, tetap tidak pernah merasa cukup. Inilah yang membuat manusia menderita. Dia selalu miskin, tak pernah kaya. Orang kaya adalah orang yang dapat memenuhi kebutuhannya. Semakin sedikit kebutuhan, semakin mudah memenuhinya. Sebaliknya, jika kebutuhan terus bertambah, maka orang akan selalu merasa kurang.

Meskipun tak pernah merasa puas, kata Guru Zuhdi, nafsu itu justru terikat kuat dengan kenyamanan dunia. Dia sangat takut berpisah darinya. Ketika sedikit saja kenyamanan itu hilang, dia akan marah dan berkeluh kesah. Semakin kuat cintanya pada dunia seperti harta, jabatan, ketenaran atau seseorang, semakin sakit pula saat dia kehilangan dunia itu. Begitulah jahatnya dunia. Ia menipu dan membuat manusia menderita. Kelak ketika maut menjemput, orang yang terjerat dunia itu tadi akan mengalami sakratul maut yang sakit sekali karena dia enggan berpisah dengan dunia.

Agar kita dapat mengendalikan nafsu dan tidak terjebak dalam perangkap dunia, kata Guru Zuhdi, agama mengajarkan kita untuk bersyukur, berterima kasih atas karunia Allah. Kita ini semula tidak ada, kemudian ada. Inilah nikmat yang paling nyata. Selain itu, beliau menganjurkan agar kita selalu berpikir positif, melihat sisi baik dari apapun kesulitan hidup yang kita hadapi. Caranya adalah sabar dan berbaik sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa setiap kesusahan itu ada hikmahnya. Selain itu, pandanglah ke bawah, orang-orang yang lebih susah dari kita, maka akan timbul rasa syukur di hati.

Guru Zuhdi menyampaikan nasihat di atas kepada para jemaahnya, dengan bahasa Banjar yang sederhana, yang mudah dicerna dan diperkaya dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, beliau mencontohkan, jika seorang suami berdagang di pasar dan ternyata seharian tidak laku, maka sikap yang baik adalah tetap bersyukur. Syukur masih sehat, dan masih bisa pulang ke rumah. Syukur masih ada yang bisa dimakan, tidak kelaparan. Isteri di rumah pun harus bersikap demikian, sehingga rumah tangga menjadi akur, damai dan bahagia.

Kita mungkin sudah sering mendengar nasihat agar kita pandai bersyukur, tetapi mengapa kita sulit menerapkannya dalam hidup? Mungkin karena kita gagal mengendalikan dan menundukkan hawa nafsu itu tadi. Nafsu adalah musuh dalam selimut. Sebuah hadis menyebut nafsu sebagai ‘musuh dari segala musuh’. Karena musuh ini sangat tangguh, jika kita ingin mengalahkan dan menundukkannya, kita harus berjuang dan berlatih sungguh-sungguh. Di sini tidak ada jalan pintas yang instan. Latihan dan perjuangan itu harus terus-terus menerus dilakukan sampai menjadi kebiasaan dan akhlak kita.

Mengapa mengalahkan nafsu itu sulit? Salah satu sebabnya mungkin karena nafsu itu adalah ego kita, keakuan diri kita. Ketika ego berbicara, maka yang muncul adalah sikap mementingkan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ego juga yang membuat kita gila hormat, takabbur, sombong, merasa diri besar sehingga tidak sabar menghadapi celaan orang lain. Dalam hal ini, Guru Zuhdi sering mengingatkan agar kita sadar bahwa diri kita ini hanyalah seorang hamba, budak yang tidak memiliki apa apa, bahkan dirinya sendiri bukan miliknya. Ia adalah ciptaan dan milik Allah.

Karena itu, bukanlah basa-basi ketika Nabi mengatakan bahwa melawan nafsu adalah jihad akbar, jihad terbesar dalam hidup kita. Jihad itu harus kita lakukan sepanjang hayat. Sebagian orang berhasil menang, sebagian lagi kalah, dan sebagian lagi kadang menang, kadang kalah. Mungkin ada pula yang tidak mau berjuang sama sekali, sehingga dia menjadi budak nafsu. Perjuangan ini berat karena hasilnya juga sangat hebat, yaitu kebahagiaan sejati. Sudah menjadi hukum kehidupan, yang asli dan sejati itu pasti lebih mahal dan lebih sulit didapat dibanding yang tiruan dan palsu, bukan? (*)

“Nafsu adalah musuh dalam selimut. Sebuah hadis menyebut nafsu sebagai ‘musuh dari segala musuh’. Karena musuh ini sangat tangguh, jika kita ingin mengalahkan dan menundukkannya, kita harus berjuang dan berlatih sungguh-sungguh. Di sini tidak ada jalan pintas yang instan. Latihan dan perjuangan itu harus terus-terus menerus dilakukan sampai menjadi kebiasaan dan akhlak kita.” (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved