Kolom
Pemilu dan Pragmatisme Partai Politik
Masyarakat Indonesia termasuk juga sebagian besar partai politik terlihat sangat lega karena hadirnya putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022
Oleh: Muhammad Erfa Redhani
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
BANJARMASINPOST.CO.ID - SEPERTI melepas dahaga, masyarakat Indonesia termasuk juga sebagian besar partai politik terlihat sangat lega karena hadirnya putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022 yang menolak permohonan pemohon dalam pengujian konstitusionalitas sistem proporsional terbuka yang ada di dalam UU Pemilu. Bagi aktivis demokrasi, putusan ini dianggap sebagai putusan yang berpihak kepada tumbuh kembang keberlangsungan demokrasi langsung di Indonesia. Sebelumnya, banyak isu di media sosial yang mengatakan bahwa putusan MK akan mengarah kepada sistem proporsional tertutup. Namun, rumor ini ternyata tidak terbukti bahkan MK telah membantah informasi tersebut dengan mengatakan bahwa informasi tersebut adalah tidak benar. MK terlihat jelas ingin menjaga marwahnya sebagai peradilan konstitusi yang independen.
Terlepas dari kontroversial beberapa putusan MK sebelumnya seperti putusan perpanjangan jabatan pimpinan KPK, putusan terbaru mengenai sistem pemilu ini patut diapresiasi, hal ini bukan karena MK mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka adalah satu-satunya sistem yang konstitusional berdasarkan UUD 1945, tetapi karena MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang meletakkan kebijakan untuk menentukan sistem pemilu itu adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk UU untuk merumuskannya. Artinya, putusan ini ingin menjelaskan bahwa berbagai problematika yang disampaikan oleh pemohonan bukan karena kesalahan sistem pemilu yang diterapkan, tetapi lebih karena faktor lain diluar sistem pemilu yang membuat rusaknya pemilu sehingga menghasilkan produk pemilu yang kerap sering bermasalah. Dalam putusan ini, MK dengan sangat detail menjelaskan bahwa sistem pemilu apapun baik itu proporsional terbuka, proporsional tertutup bahkan distrik sekalipun sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Pragmatisme Partai Politik
Salah satu dalil yang disampaikan pemohon dalam menguji konstitusionalitas sistem proporsional terbuka adalah adanya anggapan bahwa sistem proporsional terbuka memunculkan para calon anggota legislatif yang pragmatis, tidak mewakili partai politik dan merusak konsolidasi partai politik. Dalil ini dibantah oleh MK yang pada intinya persoalan yang dikhawatirkan oleh pemohon tersebut bukan kerena model sistem pemilu tetapi karena ketidakmampuan atau bahkan ketidakpedulian partai politik dalam proses rekrutmen anggota partai politik dan kandidasi calon anggota legislatif.
Baca juga: Mempermudah Ujian SIM
Selama ini, sikap pragmatis muncul dan berkelindan dalam pemilu tidak hanya dilakukan oleh calon anggota legislatif, tetapi juga sikap partai politik yang cenderung mengabaikan kualitas dari calon yang diusung. Akibatnya, banyak di antara mereka yang “kutu loncat”, tidak mendapatkan posisi strategis di partai yang satu, dengan sekejap besok hari bisa jadi sudah memiliki kartu anggota di partai yang lain. Bahkan tidak hanya itu, menjelang pendaftaran bakal calon anggota legislatif, bisa jadi berubah dalam waktu yang singkat untuk berpindah partai politik.
Tren belakangan ini, partai politik cenderung mencalonkan orang yang memiliki popularitas yang tinggi baik itu berasal dari kalangan artis, pengusaha atau tokoh masyarakat yang sebenarnya mereka bukanlah kader partai politik yang memahami ideologi, visi-misi, cita-cita dan nilai-nilai yang diperjuangkan partai politik tersebut. Hanya dengan bermodalkan popularitas dan tidak jarang juga bermodalkan uang yang banyak, partai politik bisa dibeli untuk memberikan posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif. Hal inilah yang disebut dengan candidacy buying. Apapun alasannya, bahkan dengan alasan kepakaran seseorang sekalipun, mestinya partai politik menjalankan fungsi kaderisasinya dengan baik. Tidak dengan “simsalabim” untuk meletakkan orang dalam pencalonan. Sikap pragmatis yang seperti ini sangat berkontribusi terhadap pelemahan institusi partai politik.
Sikap pragmatis partai politik dapat terjadi dalam sistem pemilu apapun bentuknya, terbuka atau tertutup. Pada akhirnya, untuk menciptakan kondisi yang ideal dan memperkokoh keberadaan partai politik sebagai institusi kunci dari demokrasi diperlukan komitmen dan kesungguhan partai politik untuk mencalonkan kader-kader terbaik dalam pemilu. Jika tidak, pragmatisme sampai kapanpun akan tetap menjadi hantu dalam pemilu.
Komitmen Partai Politik
Dari sekian banyak dalil pemohon seperti pragmatisme partai politik, money politic, kurangnya keterwakilan perempuan, dan lain sebagainya. MK menilai bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kondisi-kondisi tersebut berasal dari internal partai politik sendiri yang belum membangun sistem internal yang kokoh terutama dalam hal demokratisasi dan integritas. Karena itu, membangun dan memperkokoh keberadaan partai politik terutama berkaitan dengan demokratisasi di internalnya adalah menjadi keharusan. Dalam kajian akademik, sudah banyak para ahli menjelaskan pentingnya membuat sistem di internal partai politik yang demokratis baik dalam hal pemilihan pejabat partai politik seperti ketua umum, penentuan calon pejabat publik seperti capres-cawapres, caleg dan calon kepala-wakil kepala daerah serta pengambilan kebijakan.
Pentingnya demokratisasi di internal partai politik salah satunya karena partai politik yang demokratis diyakini akan melahirkan pejabat publik yang juga bersikap demokratis. Secara langsung produk hasil pemilu yang berasal dari kandidat yang terseleksi dengan demokratis oleh partai politik akan menghasilkan kebijakan negara yang juga demokratis.
Untuk menciptakan partai politik yang demokratis, perlu kiranya melakukan pembenahan. Hal yang paling utama dilakukan adalah membangun kesadaran internal dengan mengatur dan mempraktikkan proses pencalonan yang demokratis ke dalam AD/ART partai politik. Misalnya pengaturan mengenai syarat caleg yang sudah harus menjadi kader partai selama sekian tahun sebelum pemilu. Meskipun bersifat aturan internal, setidaknya dapat mengikat para pejabat partai untuk mentaatinya.
Tetapi, dalam kondisi sekarang tampaknya pengaturan di tingkat AD/ART tidak cukup. Sebab pengaturan tersebut akan sangat mudah disimpangi jika ada kepentingan yang sangat kuat. Cara lain, adanya intervensi negara yaitu mengikatnya dalam dalam UU Pemilu maupun dalam UU Partai Politik. Pengaturan mengenai model-model demokratisasi di internal partai menjadi penting untuk diatur, seperti pemilihan pendahuluan yang harus dilakukan partai politik sebelum mendaftarkan caleg, syarat calon yang sudah harus menjadi kader selama sekian tahun sebelum pemilu serta uji publik meminta masukan kepada masyarakat terhadap bakal calon yang akan didaftarkan. Wallahu’alam. (*)
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Banjarmasin Post
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.