Tajuk
MK dan Nasib Bangsa
Sudah sepatutnya hakim dalam memutuskan sesuatu melihat perasaan rakyat dan menggali pendapat para ahli.
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan keputusan yang membolehkan peserta pemilihan umum (pemilu) untuk kampanye di sekolah dan kampus.
MK juga tengah disibukkan dengan gugatan agar batas usia calon presiden dan wakil presiden diubah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 169 huruf q, usia capres dan cawapres hanya dibatasi minimal 40 tahun.
Namun ada pihak yang meminta MK menurunkannya. Tujuannya, tentu saja meloloskan orang yang hendak diusungnya agar bisa mencalonkan diri.
Ada pula yang meminta agar usia capres dan cawapres dibatasi maksimal 70 tahun. Tujuannya tentu saja agar bakal calon tertentu tidak bisa maju.
Sebelumnya MK juga mengubah masa jabatan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun.
Keputusan ini pun bisa langsung diterapkan kepada anggota KPK sekarang.
Sejumlah aktivis antikorupsi seperti Denny Indrayana, yang merupakan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mantan anggota KPK, menyatakan, masa jabatan anggota KPK merupakan kewenangan legislatif.
Kalau pun MK telah memutuskan, semestinya keputusan itu berlaku untuk anggota KPK yang akan datang.
Sejumlah pengamat juga menilai batas usia capres dan cawapres merupakan ranah parlemen.
MK hanya menilai apakah sebuah undang-undang atau peraturan cacat hukum atau tidak.
Jika MK mengambil kewenangan legislatif, untuk apa ada dewan.
Sangat tidak adil jika hal yang menyangkut seluruh rakyat Indonesia hanya ditentukan oleh segelintir hakim.
Rakyat pun pasti tidak rela nasibnya hanya ditentukan oleh sembilan hakim MK.
Semakin banyak orang yang urun rembug, akan semakin baik sebuah keputusan.
Sebagai wakil rakyat, tentu dewan lebih memiliki kewenangan untuk itu.
Apalagi sebagian dari hakim MK merupakan hasil pemilihan DPR.
Bagaimana mungkin, seorang anak membantah ibu yang melahirkannya.
Sudah sepatutnya hakim dalam memutuskan sesuatu melihat perasaan rakyat dan menggali pendapat para ahli.
Sebagai contoh, belum lagi diterapkan, keputusan memperbolehkan kampanye di sekolah dan kampus, sudah diprotes oleh Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Komunitas pendidik ini khawatir kampanye mengganggu proses pendidikan.
Bisa dibayangkan bila 18 partai politik peserta Pemilu 2024 kampanye di sebuah sekolah. Belum lagi masing-masing calon anggota legislatif.
Kapan anak-anak belajarnya?
Belum terpilih saja sudah mengganggu, apalagi setelah terpilih. Semua ini tak lepas dari putusan hakim MK.
Ingat, hakim itu satu kaki ada di surga, satu lagi ada di neraka. Silakan hakim MK memilihnya.
(Banjarmasinpost.co.id/*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.