Kolom

Mengantisipasi Potensi Defisit JKN

Saat ini keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS dikhawatirkan karena hal ini

Editor: Irfani Rahman
DokumentasiBanjarmasinpost.co.id
Satrio Wahono Sosiolog dan Magister Filsafat UI 

Begitu banyaknya hulu defisit di atas menandakan permasalahan serius di bidang kesehatan masyarakat kita yang perlu dibenahi. Untuk itu, ada beberapa solusi.

Solusi

Pertama, pemerintah bisa tetap merealisasikan kenaikan iuran pada 2025 untuk sekadar menambal potensi defisit, tapi dengan besaran yang rasional dan sesuai dengan kemampuan ekonomi rakyat. Kenaikan juga jangan dilakukan di awal tahun 2025 karena momen itu berdekatan dengan momen puasa Ramadan dan Idul Fitri (akhir Februari hingga Maret 2025).

Kedua, BPJS Kesehatan harus mengaudit tindakan-tindakan medis yang diklaim kepadanya. Ini demi untuk mencegah tindakan medis tidak perlu kepada pasien.

Ketiga, pemerintah harus menyisir jumlah peserta PBI yang iurannya dibiayai penuh oleh negara. Sebab, ada sejumlah temuan di mana peserta PBI ternyata merupakan orang-orang yang cukup mampu membayar iuran.

Jika jumlah peserta PBI bisa diturunkan dari angka sekarang yang mencapai 96,761 juta dari total 267 juta peserta JKN, tentu itu akan mengurangi defisit JKN.

Keempat, rencana penghentian pelayanan publik seperti perpanjangan SIM atau STNK bagi penunggak iuran mesti mulai diimplementasikan guna memuudahkan kolektibilitas iuran peserta. Juga, BPJS Kesehatan wajib menggencarkan sosialisasi program REHAB (rencana pembayaran bertahap) kepada masyarakat yang menunggak iuran.  

Kelima, BPJS Kesehatan perlu mengoptimalkan layanan promotif dan preventif di FKTP dalam rangka mengedukasi masyarakat mengenai langkah-langkah menjaga kesehatan, seperti sosialisasi gaya hidup sehat dan pemberian vitamin secara berkala. Jika masyarakat bisa menjaga kesehatan, tingkat kunjungan ke FKTP dan FKTL akan menurun sehingga mengurangi defisit.

Kelima, mengingat banyak pasien yang berobat adalah penderita penyakit degeneratif akibat rokok dan minuman ringan tinggi gula, pemerintah harus menggenjot penerimaan dari cukai rokok dan minuman ringan guna menutupi defisit JKN.  

Keenam, data BPJS Kesehatan menunjukkan selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi (pernapasan) mencapai angka signifikan dan meningkat tiap tahunnya. Pneumonia (radang paru) menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis (TBC) Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Angka-angka ini tentu akan bertambah seiring penurunan kualitas udara akibat perburukan polusi.

Ini sejalan dengan pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto SpP(K) pada 11 Februari 2023 yang mengingatkan bahwa polusi udara parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberculosis (TBC), asma, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

Karena itu, pemerintah dapat segera memberlakukan pajak karbon kepada industry penghasil emisi karbon dan mengalokasikan sebagian dana itu untuk membiayai JKN.

Berbekal keenam langkah di atas, negara bisa mendapatkan ruang yang lebih lapang untuk memberikan pelayanan yang bermartabat lagi bermanfaat bagi masyarakat. (*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved