Kolom
Internalisasi Pendidikan untuk Peradaban
Filsuf Frithjof Schuon berkata jika ingin menjadi manusia seutuhnya, mari meletakkan Pendidikan sebagai kunci pemanusiaan manusia
Oleh: Moh. Yamin
Pemerhati pendidikan, penulis buku-buku Pendidikan
BANJARMASINPOST.CO.ID - SEORANG filsuf Frithjof Schuon berkata jika ingin menjadi manusia seutuhnya, mari meletakkan Pendidikan sebagai kunci pemanusiaan manusia. Pasalnya, pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk dapat mengenal diri dan lingkungannya.
Mengenal dirinya sendiri berarti bahwa manusia harus memahami apa yang mesti dilakukan untuk dirinya demi pengembangan kapasitas diri.
Memahami dirinya bermakna bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk terus belajar dan belajar, membaca setiap realitas sebagai sumber belajar, memberikan makna terhadap apa yang sedang dibaca, dan selanjutnya melakukan kontekstualisasi makna dan pesan yang diperoleh dari hasil membaca realitas. Memahami dirinya mengilustrasikan kerja-kerja perubahan yang mesti dilakukan.
Perubahan adalah sebuah hal niscaya, mengutip pendapat Heraklitos. Ini berarti bahwa pendidikan memberikan pesan-pesan perubahan agar perilaku manusia terus diubah menjadi baik dan lebih baik. Hanya dengan belajar kepada realitas, manusia kemudian akan menjadi bermakna dan dimungkinkan menjadi lebih baik.
Pendidikan kritis menjadi jalan yang perlu dibuka dan dilakukan sebagai langkah baik agar terjadi dinamika. Bullying yang marak terjadi walaupun yang muncul di media publik terbatas sesugguhnya ibarat gunung es bahwa ada yang keliru saat anak didik belajar di sekolah.
Anak-anak seolah aman dan nyaman belajar di sekolah, di kelas akan tetapi bahaya laten kemanusiaan mengintai mereka. Kekerasan di sekolah dimungkinkan akan muncul baik dalam momen segera atau potensial terjadi di masa selanjutnya.
Rabindranath Tagore mengatakan bahwa sekolah akan selalu menjadi penjara bagi anak didiknya sebab mereka sebetulnya berada dalam kebijakan pendidikan yang membelenggu. Lingkungan pendidikan yang memaksa anak didik terus belajar dan kehilangan ruang untuk melepaskan kepenatan dan stress hidup menjadi pemicu (baca: kebijakan kurikulum).
Selain mungkin faktor keluarga yang abai terhadap dinamika dan perkembangan kejiwaan anak dengan semakin dekatnya anak kepada kehidupan informasi di teknologi bernama gadget. Menjadi wajar jika kondisi anak di sekolah mengalami disorientasi sehingga ini membuktikan bahwa mereka tidak belajar.
Makna semantik dari belajar bukan semata menghafal, menjawab soal-soal yang diberikan guru di kelas, menjawab pertanyaan guru, menyimak dan memahami yang dipaparkan guru atau anak didik dapat melakukan presentasi topik pada mata pelajaran tertentu di depan kelas. Ini hanya kemampuan kognitif yang sebetulnya tidak membekas dan membentuk perilaku kehidupan anak yang baik.
Dalam bahasa agama, kita menyebutnya akhlaq yang baik, belum tentu mereka peroleh setelah menjalani fase-fase belajar di kelas.
Seorang pedagog asal Jerman F.W Foerster (1869-1966) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan langkah guna membentuk karakter yang selanjutnya termanifestasikan dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup setiap pribadi manusia.
Dalam proses pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah, kita belum sampai ke arah tersebut. Kekerasan antar pelajar adalah varian dari kehidupan disorientasi pendidikan anak didik yang dihasilkan dari proses berpendidikan di sekolah. Apakah guru dan sekolah adalah pihak yang perlu dikambinghitamkan? Jawabannya adalah tidak.
Guru dan sekolah sudah bekerja keras, sudah melakukan usaha maksimal dan optimal dalam pelaksanaan pendidikan dan pengawasan di sekolah.
Capaian Formalitas
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.