Opini

Haji dan Pesan Kemanusiaan

HAJI adalah suatu ritual keagamaan yang diimpikan oleh setiap muslim. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia

|
Editor: Edi Nugroho
Dokumentasi Banjarmasinpost.co.id
Faisal Mubarak Seff, Profesor Ilmu Bahasa Arab UIN Antasari / Staff Konsul Haji RI Jeddah 2005-2006 

Hal ini mungkin juga disebabkan oleh persepsi umum yang menyatakan bahwa harta yang dibawa untuk melaksanakan ibadah haji tidak akan pernah berkurang atau habis.

Persepsi ini tidak ditemukan dalam ibadah lainnya, seperti biaya pendidikan atau kegiatan lainnya.

Sebagai salah satu dari lima rukun Islam, ibadah haji memiliki makna dan dimensi yang khas, sering kali dianggap sebagai ujian atas baik buruknya amal seseorang.

Mereka yang melakukan perbuatan kurang baik mungkin akan mengalami kesulitan saat menjalankan ibadah haji, seperti kehilangan barang, tersesat, atau bahkan menghadapi kekerasan fisik dan lain sebagainya.

Sebaliknya, orang yang berbuat baik selama hidupnya kemungkinan besar akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dalam menjalankan ibadah haji.

Ibadah haji, yang dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, memang merupakan suatu bentuk ibadah yang sarat dengan pesan kemanusiaan.

Dalam khutbah haji wada (perpisahan) yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW saat berada di padang Arafah, suasana sangat khidmat, bahkan dalam penjelasan Nurcholish Madjid dalam buku “Perjalanan Religius Haji & Umrah”, terlihat betapa emosionalnya Nabi Muhammad SAW. Beliau meminta agar pidatonya tidak hanya didengar dan diamalkan oleh hadirin, tetapi juga disebarluaskan kepada yang tidak hadir.

Khutbah nabi di padang Arafah yang dikenal dengan sebutan Khutbatul Wada (Khutbah Perpisahan) memang sangat berkesan karena hanya tiga bulan setelahnya nabi wafat. Dalam khutbah tersebut, nabi menekankan pentingnya kesetaraan, menjaga jiwa, harta, dan kehormatan, serta melarang penindasan terhadap golongan mustadafin (lemah). Pesan yang disampaikan oleh nabi tersebut secara jelas menggambarkan bahwa ibadah haji memiliki hubungan yang erat dengan sisi kemanusiaan.

Di sisi lain, ibadah haji juga mengajarkan untuk menjauhi ungkapan-ungkapan negatif yang berbau pornografi (rafash), perbuatan maksiat (fusuq), dan pertengkaran (jidal) antara sesama muslim.

Ini menegaskan bahwa ibadah haji tidak hanya sebatas ritual, tetapi juga mengajarkan moralitas dan etika yang baik, serta mempromosikan perdamaian dan persaudaraan di antara umat manusia.

Dalam pelaksanaan ritual ibadah haji, sangat jelas bahwa ibadah ini tidak hanya berupa simbol-simbol belaka, tetapi juga sarat dengan makna-makna kemanusiaan yang konkret. Ketika semua jemaah meninggalkan pakaian kebesaran sehari-harinya, tidak peduli apakah mereka bangsawan, pejabat, atau rakyat jelata, semuanya mengenakan dua helai kain putih, yang dikenal sebagai pakaian ihram yang suci.

Manusia juga dilarang untuk merusak lingkungan, menyakiti binatang, dan tak terkecuali menyakiti sesama manusia. Semua ini menunjukkan bahwa semua manusia sama, tanpa membedakan status sosial di masyarakat.

Puncak dari ritual haji terjadi saat wukuf di Arafah, karena Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Al-hajju Arafah”. Jutaan manusia berkumpul di padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, dan jika ritual tersebut tidak dilaksanakan, maka haji tidak sah.

Semua ini tidak lepas dari pengingat akan historisitas pesan moral yang disampaikan dalam khutbah haji wada oleh nabi, serta pengalaman menyatunya umat Islam di seluruh dunia. Harapannya, setelah kembali dari ritual haji, orang tidak hanya memiliki gelar haji atau hajjah, tetapi juga benar-benar memiliki karakter kemanusiaan yang tertanam kuat, serta mampu memahami, menghayati, dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. (*)

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 

Politik Bansos

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved