Opini
Islam dan Kajian Perilaku Konsumen: Apakah Masih Tabu?
KONFLIK antara agama dan ilmu pengetahuan memang dapat meninggalkan masyarakat dalam kebingungan. Hal ini dapat terjadi karena ketegangan antara dua s
Kemudian menarik diri dari dunia sehingga perilaku keberagamaan menjadi tereduksi atau yang disebut dengan isitilah tadayyun al manqush.
Pemikiran ini telah membuat peran agama menjadi parokial. Agama menjadi alat legitimasi untuk membenarkan perilaku pribadi.
Misalnya, zakat dibayarkan saat ada kepentingan yang lebih menguntungkan layaknya cuci uang, haji pun ikut ditunaikan ketika dapat menambah status sosialnya dan jaringan bisnis dagangnya.
Atau sebaliknya, para konsumen yang juga pemeluk agama menganggap objek-objek duniawi seperti kuburan menjadi sakral yang dibuat menjadi destinasi wisata halal. Hal ini menjelaskan bahwa komoditas profan bisa terkontaminasi oleh agama.
Kedua, menumbuhkan pentingya paham keberagaman. Jika mengutip QS Al Hujrat ayat 13, maka tujuan dari keberagaman adalah untuk saling mengenal dan menjadi pribadi yang paling baik di hadapan Allah. Mustinya agama menjadi tidak sebatas pedoman menuju kehidupan akhirat tapi juga kehidupan yang ramah di alam dunia.
Sulit untuk menyangkal bahwa perilaku konsumen tidak dipengaruhi oleh agama, hanya agama yang dipahami secara ekslusif yang akan mematahkan pentingnya keberagaman.
Dengan paham dan menerima keberagaman, maka masyarakat akan mungkin untuk dapat mengakomodir isu-isu tabu yang dapat menyebabkan konfilik. Begitu juga potensi agama mejadi terbuka untuk kemaslahatan umat.
Satu cerita dari Mu’az yang diutus Nabi Muhammad pergi ke Yaman untuk memutuskan perkara waris. Sorang kafir memiliki dua anak, satu muslim dan lainnya kafir. Berdasarkan hadis nabi, tidak ada waris bagi muslim atas kafir atau sebaliknya.
Namun Mu’az membuat keputusan kontroversial bahwa anak muslim berhak menerima waris dengan alasan sebelum anak itu memeluk Islam, ia berhak atas waris. Nabi bersabda al islam yazidu wa la yanqush artinya Islam itu bertambah dan tidak berkurang.
Meski kontroversi, namun pandangan Mu’az dinilai memiliki terobosan untuk menjaga kepentingan publik yang lebih besar.
Setidaknya begitu juga dengan perilaku konsumsi. Konsumsi tidak hanya mempertimbangkan perut tapi maslahat umat.
Konsumsi yang menimbulkan kecemburuan sosial bahkan kerusakan lingkungan bukanlah perilaku konsumen yang agamis. Sampai di sini, agama seharusnya tidak lagi tabu dalam kajian perilaku konsumen. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/Qoshid-Al-Hadi-Dosen-Prodi-Ekonomi-Syariah-UNISKA-MAB12.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.