Kolom

Jet Pribadi dan Kaca Mata Kuda KPK

Kaesang Pangarep, sekaligus Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sedang disorot terkait dugaan penerimaan gratifikasi pesawat jet pribadi

Editor: Irfani Rahman
Foto Ist
Joko Riyanto, Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo 

Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan Solo

BANJARMASINPOST.CO.ID - PUTRA bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, sekaligus Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sedang disorot terkait dugaan penerimaan gratifikasi pesawat jet pribadi (private jet) jet bersama istrinya Erina Gudono saat perjalanan ke Amerika Serikat (AS).

Sejumlah sumber menyebut jet pribadi Gulfstream G650ER yang dipakai Erina dan Kaesang adalah milik perusahaan game online Garena yang berada di bawah naungan Sea Limited, Singapura.

Pengamat penerbangan Alvin Lie dalam unggahan di akun Facebook pribadi pada Jumat (23/8/2024) menyampaikan, pesawat dengan registrasi N588SE itu sangat misterius lantaran data penerbangan dihapus, sehingga tidak bisa dilacak pergerakannya.

Publik geram karena di saat masyarakat tengah kesulitan ekonomi dan menghadapi upaya pengebirian demokrasi, termasuk revisi UU Pilkada oleh elite politik yang mengabaikan putusan MK, keluarga Presiden Jokowi memamerkan kemewahan saat ke AS menggunakan jet pribadi.

Kaesang telah dilaporkan oleh Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) dan Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidilah Badrun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan gratifikasi fasilitas jet pribadi.
Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dll. Diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronika.

Ancaman pidana dalam ketentuan tersebut ditujukan kepada pemberi maupun kepada penerima. Apabila dalam kurun waktu 30 hari segera melaporkan kepada KPK tentang adanya upaya gratifikasi kepada dirinya oleh pihak tertentu maka si penerima tidak dikenai pidana.

Kita pun meragukan bahwa dana yang dipergunakan menggunakan jet pribadi bukan dana dari jerih payah sendiri, tetapi dihasilkan dari “dana lain”. Belum lagi, mental pejabat di negeri ini yang masih rawan suap dan korupsi, bukan mustahil dana pengunaan jet pribadi dari hasil penyimpangan anggaran dan praktik ilegal lainnya.

Nah, dari sinilah, kekhawatiran bahwa budaya pemakaian fasilitas mewah mengarah pada gratifikasi dan praktik korupsi itu menemukan konteksnya. Yang menjadi perhatian bersama sebenarnya bukan pada benda yang namanya pesawat jet. Pesawat jet itu hanya satu bagian dari sejumlah bentuk fasilitas yang harus kita tolak. Intinya adalah menolak budaya gratifikasi dalam arti luas.

 Pesawat jet pribadi dapat menjadi laknat apabila menjadi selubung yang halus untuk memperlancar kepentingan dan bisnis tertentu. Maka, sikap awas dan kewaspadaan perlu diutamakan terhadap pratik gratifikasi dengan berkedok fasilitas mewah.

KPK pun terkesan gamang dalam meyikapi kasus ini. Perbedaan pandangan antara pimpinan KPK, yakni ada yang menyatakan Kaesang perlu diklarifikasi oleh Direktorat Gratifikasi karena Kaesang dinilai punya keterkaitan dengan keluarga sebagai penyelenggara negara (Ayah, Kakak, dan kakak ipar). Sedangkan pimpinan KPK lainnya berpendapat

Kaesang tak bisa dipanggil karena bukan penyelenggara negara sesuai Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu, KPK bersifat pasif dalam penanganan laporan gratifikasi. Akhirnya, KPK memilih mengusut melalui mekanisme laporan yang masuk.

Gratifikasi tak selalu diterima oleh pegawai negeri (ASN) dan pejabat negara. Keluarga dan kerabat yang menikmatinya bisa dijerat hukum jika terbukti menerima fasilitas itu. Dalam instrumen hukum berkaitan gratifikasi bisa terjadi karena perdagangan pengaruh dan konflik kepentingan.

 Meskipun Kaesang bukan penyelenggara negara tak mengaburkan fakta bahwa keluarganya merupakan pejabat negara. Atas dasar itulah maka harus ada penjelasan kepada publik soal pemakaian jet pribadi Kaesang dan istrinya.

Menurut pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih bahwa Penggunaan fasilitas yang diluar profil seorang penyelenggara negara menurut Yenti bisa saja menjadi celah gratifikasi dan berujung pada penyuapan. Ia mengingatkan saat ini sudah ada beberapa kasus penyuapan yang tidak dilakukan secara langsung kepada penyelenggara negara.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved