Jendela

Kawin Kontrak Politik

Tiap akhir pekan, jika tak ada aral, saya dan isteri suka berolahraga ringan, berjalan kaki pagi hari. Kata pepatah, “lama berjalan, banyak yang dilih

|
Editor: Edi Nugroho
ISTIMEWA
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Oleh:
Mujiburrahman

Tiap akhir pekan, jika tak ada aral, saya dan isteri suka berolahraga ringan, berjalan kaki pagi hari.

Kata pepatah, “lama berjalan, banyak yang dilihat”.

Selama masa kampanye menjelang Pemilu 2024 ini, yang paling banyak kami lihat adalah spanduk dan baliho yang menampilkan foto-foto calon presiden-wakil presiden dan calon-calon anggota legislatif.

Tampak wajah-wajah cantik dan tampan, dengan senyum memukau atau gaya yang tegas, tampil dengan pakaian khas partai atau seragam kampanye.

Baca juga: Parpol di Tanahlaut Enggan Gelar Rapat Umum, Pilih Latih Saksi dan Konsolidasi Internal

Baca juga: Mengawal Panasnya Pemilu

Foto-foto itu disertai slogan-slogan yang menggugah.

Sejak Pemilu 2004, kita memang memilih orang, bukan tanda gambar partai. Orang menyebutnya sistem proporsional terbuka.

Alasannya, dengan memilih orang, bukan partai, pemilu tidak seperti memilih kucing dalam karung.

Yang kita pilih adalah orang yang sudah kita kenal. Sistem memilih orang ini juga didukung oleh teknologi percetakan digital dan media sosial yang gampang menampilkan foto seindah mungkin.

Seperti halnya promosi atau iklan barang dan jasa, melalui foto dan slogan itu, para politisi berusaha memikat hati para pemilih.

Dibandingkan foto, mungkin slogan yang tertulis di spanduk dan baliho justru lebih penting karena menunjukkan apa yang konon akan dilakukan oleh si politisi jika kelak terpilih.

Berikut beberapa slogan yang sempat saya catat: “Menjaga Kebersamaan, Mengabdi kepada Rakyat”; “Muda, Bakti, Mengabdi”; “Orang jujur pilih orang baik, Orang baik pilih orang jujur”; “Merakyat, Karya Nyata”; “Amanah, Merakyat”; “Ulun Wakilnya, Pian Ketuanya”; “Berpolitik dengan Hati”.

Baca juga: Geger Warga Astambul Tenggelam di Sungai Martapura, Pencarian Masih Dilakukan

Intinya, sang politisi mengatakan bahwa dia adalah orang baik dan mampu membela kepentingan rakyat.

Namun ada juga slogan tanpa janji yang jelas. Penekanannya lebih kepada sosok pribadi si politisi.

Misalnya, caleg yang sudah pernah terpilih menampilkan slogan seperti “Lanjutkan!”, “Pilih nang pinandu haja” (pilih yang sudah Anda kenal saja).

Ada juga yang menekankan identitas asal-usul seperti “Keturunan Habib Basirih”, “Bubuhan kita jua” (Saudara kita juga).

Ada juga yang menggelitik, bahkan rada menantang seperti “Siapa yang pian tunggu di tahun 2024?”, “Muda Berbahaya”. Sebaliknya, ada juga yang sangat santun: “Mohon doa dan dukungannya”.

Ibarat kawin, sang politisi saat ini melakukan pendekatan kepada calon pasangannya, yakni rakyat-pemilih.

Jika kita mengacu kepada slogan-slogan itu, maka paling kurang ada dua strategi yang dilakukan
politisi.

Pertama, berjanji akan menjadi ‘suami’ atau ‘isteri’ rakyat yang bertanggung jawab sesuai hak dan kewajiban yang diembannya.

Kedua, berusaha menunjukkan bahwa kesetiaannya kepada rakyat tak perlu diragukan lagi karena sudah pernah terpilih, keturunan orang yang mulia, sosok idaman yang ditunggu-tunggu, atau anak muda yang dapat mendobrak kemapanan.

Reaksi para pemilih tentu beragam. Ada yang percaya pada politisi itu, ada yang tidak, dan ada yang ragu-ragu.

Namun, boleh jadi kebanyakan pemilih tidak atau kurang memerhatikan slogan-slogan itu. Apalagi jika pemilih seringkali dikecewakan oleh janji-janji politisi yang tidak ditepati.

Dalam hal ini, ibarat nikah, pemilih minta dibayar tunai saja saat akad berlangsung. Inilah akar dari maraknya politik uang.

Daripada kelak menagih janji, si pemilih yang pernah kecewa itu meminta dibayar sekarang saja saat pemilu. Urusan nanti setelah terpilih, terserah kepada si politisi tersebut.

Dengan demikian, sulit kiranya bagi seseorang untuk menjadi politisi tanpa modal uang yang banyak. Caleg yang miskin modal akhirnya ragu-ragu atau takut menemui masyarakat. Jika dimintai uang atau sumbangan bagaimana?

Ibarat kawin, mahar politiknya tinggi, baik untuk si pengantin ataupun biaya operasional di lapangan.

Sejalan dengan ini, Kompas (18 dan19-1-2024) melaporkan bahwa sebagian politisi menggunakan perangkat desa untuk operasi ‘serangan fajar’, dan sebagian lagi mendompleng pembagian bantuan sosial yang berasal dari anggaran pemerintah.

Lebih seru lagi, PPATK mencatat transaksi mencurigakan terkait pemilu tahun ini sebesar Rp 51,4 triliun!

Namun, gambaran suram tersebut tidak mewakili seluruh kenyataan.

Cukup banyak pula caleg yang sebelumnya sudah terpilih, dan selama menduduki jabatan seringkali memerhatikan dan membantu masyarakat di daerah pemilihannya (dapil), tetap bertahan mendapatkan kepercayaan rakyat.

Begitu pula, seorang tokoh yang selama bertahun-tahun aktif dalam kegiatan sosial atau membantu masyarakat akan lebih mudah mendapatkan dukungan para pemilih yang sudah mengenalnya, meskipun modal uangnya kecil dan baru mencalonkan diri.

Yang menjadi soal barangkali adalah, seberapa banyak jumlah politisi kita yang benar-benar sudah singgah di hati rakyat, karena dianggap setia dengan “kontrak perkawinan”?

Berapa banyak pula rakyat yang memilih politisi karena integritas dan kegigihannya memperjuangkan aspirasi rakyat dibanding semata karena ‘serangan fajar’ yang ‘dibayar tunai’?

Lebih penting lagi, seberapa kuat komitmen para penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan para pemilik modal (oligark) mewujudkan pemilu yang bebas, jujur dan adil?

Ibarat kawin, pemilu adalah saat berlangsungnya akad, yakni kontrak yang mengikat politisi dengan rakyat.

Bahagia-derita perkawinan ini akan dibuktikan kelak setelah pemilu.

Apakah setelah akad, mereka hidup bahagia bersama atau rakyat ditinggal begitu saja demi kontrak lain dengan sesama politisi, partai dan penyandang dana?

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved