Jendela

Kawin Kontrak Politik

Tiap akhir pekan, jika tak ada aral, saya dan isteri suka berolahraga ringan, berjalan kaki pagi hari. Kata pepatah, “lama berjalan, banyak yang dilih

|
Editor: Edi Nugroho
ISTIMEWA
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Cukup banyak pula caleg yang sebelumnya sudah terpilih, dan selama menduduki jabatan seringkali memerhatikan dan membantu masyarakat di daerah pemilihannya (dapil), tetap bertahan mendapatkan kepercayaan rakyat.

Begitu pula, seorang tokoh yang selama bertahun-tahun aktif dalam kegiatan sosial atau membantu masyarakat akan lebih mudah mendapatkan dukungan para pemilih yang sudah mengenalnya, meskipun modal uangnya kecil dan baru mencalonkan diri.

Yang menjadi soal barangkali adalah, seberapa banyak jumlah politisi kita yang benar-benar sudah singgah di hati rakyat, karena dianggap setia dengan “kontrak perkawinan”?

Berapa banyak pula rakyat yang memilih politisi karena integritas dan kegigihannya memperjuangkan aspirasi rakyat dibanding semata karena ‘serangan fajar’ yang ‘dibayar tunai’?

Lebih penting lagi, seberapa kuat komitmen para penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan para pemilik modal (oligark) mewujudkan pemilu yang bebas, jujur dan adil?

Ibarat kawin, pemilu adalah saat berlangsungnya akad, yakni kontrak yang mengikat politisi dengan rakyat.

Bahagia-derita perkawinan ini akan dibuktikan kelak setelah pemilu.

Apakah setelah akad, mereka hidup bahagia bersama atau rakyat ditinggal begitu saja demi kontrak lain dengan sesama politisi, partai dan penyandang dana?

 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Pahlawan Prisma

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved