Fikrah
Iyyakana’budu
Surah Al-Fatihah ayat 5 “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” yang artinya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
Oleh: KH Husin Naparin Lc MA
Ketua MUI Provinsi Kalsel
BANJARMASINPOST.CO.ID- ALLAH SWT berfirman dalam surah Al-Fatihah ayat 5 “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” yang artinya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.
Pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan; bahwa hambanya haruslah mengikrarkan hal ini.
Iyyaka adalah dhamir (pengganti nama untuk orang kedua dalam kedudukan mansub sebagai objek (maf’ul-bih). Dalam tata bahasa Arab maf’ul bih harus sesudah fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek). Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian, dalam balaghah menunjukkan qashr, yaitu pembatasan yang bisa diartikan “hanya”. Dengan demikian ayat ini bermakna, “hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan”.
Dalam ayat ini, Iyyaka diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti’anah (memohon pertolongan itu) masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah SWT serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara dengan Allah SWT); karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya, tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah SWT.
Dengan memakai Iyyaka, berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah SWT, dengan maksud mengingatnya, seakan-akan kita berada di hadapannya, dan kepadanya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk.
Na’budu, dalam ayat ini didahulukan menyebutnya dari nasta’in; karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Adapun pertolongan Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba, mengajarkan agar menunaikan kewajiban lebih dahulu daripada hak.
Na’budu dan nasta’in adalah kata kerja dalam bentuk jamak, berarti kami menyembah dan kami minta tolong, bukan a’budu dan asta’in artinya aku menyembah dan aku minta tolong.
Hal ini untuk memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya mengemukakan diri sendiri dalam menyembah dan memohon pertolongan, seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah SWT belum lagi sempurna kecuali dikerjakan bersama-sama.
Ibadah sendiri berasal dari kata ‘abada - ya’budu -‘ibadatan. Kalau dikatakan ‘abadallah berarti beribadah, menyembah, mengabdi kepada Allah SWT. Namun ibadah sejatinya adalah ketaatan, al-’ibadatu dimaksudkan ath-tha’ah. Syekh Yusuf al-Qardhawi mengutip keterangan Ibnu Taimiyah yang artinya “Ibadah adalah suatu ungkapan mencakup semua apa yang dikehendaki dan diredhai Allah SWT berupa perkataan dan perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi”.
Menurutnya ibadah mencakup ketaatan langsung kepada Allah SWT yang telah ditentukan tata cara, waktu dan hal-hal lain yang terkait dengannya diisitilahkan “ibadah mahdhah”, lalu ketaatan berkaitan dengan kehidupan secara umum tanpa ditentukan cara dan waktunya, diisitilahkan dengan “ibadah ammah”.
Ibadah mahdhah ternyata hanya sedikit jika dibanding dengan ibadah ammah. Salat fardu lima waktu dalam sehari semalam diperlukan waktu 1 jam, berarti masih tersisa waktu sebanyak 23 jam.
Shiyam (puasa) difardukan 1 bulan dalam setahun, berarti masih tersisa waktu 11 bulan. Zakat diambil 2,5 persen dari materi yang dizakati, berarti masih tersisa 97,5 persen. Haji difardukan satu kali dalam seumur hidup, berarti masih tersisa banyak waktu dalam kehidupan.
Selain ibadah mahdhah maka semua yang tersisa diisi dengan ibadah ammah, antara lain mencari rezeki, memenuhi keperluan pribadi berupa makan dan minum, tidur dan beristirahat, qadha hajat dan hubungan suami istri, serta aktivitas lain berupa hubungan keluarga dan masyarakat.
Beribadah kepada Allah SWT adalah tugas hidup manusia. Dia berfirman yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS: adz-Zariyat: 56) Mengapa manusia harus menyembah Allah SWT? Jawabannya, karena Allah-lah yang menciptakan mereka. “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa” (QS: al- Baqarah: 21). Dalam penyembahan kepada Allah SWT, Dia tegaskan dalam firman-Nya: “Aku tidak menghendaki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”. (QS: adz-Zariyat: 57-58).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/Ketua-MUI-Kalimantan-Selatan-KH-Husin-Naparin-jumat-28072023.jpg)